Bab 32 : Takut

18 7 10
                                    

Keesokan harinya, Adhisti dan Kivandra datang ke sekolah seperti biasa. Mereka menaiki motor bersama dan berjalan ke kelas diiringi canda tawa. Saat bersama kekasihnya, rasa takut akan teror yang selalu menghantuinya setiap hari seolah sirna. Bolehkah Adhisti berharap hubungan mereka tetap seperti ini?

"Kok kayak ada yang kurang, ya?" gumam Adhisti. Ekor mata gadis itu melihat segala penjuru. "Masha tumben belum datang, biasanya dia yang paling semangat sekolah, terus meluk gue dari belakang."

"Eh iya, ya? Mungkin kesiangan. Lo positif thinking aja, Dara. Mending sekarang kita ke kelas, guru juga udah mau masuk," ajak Kivandra.

Adhisti menganggukkan kepalanya. Ia berjalan beriringan sambil sesekali bertukar pikiran. Semua hal yang Adhisti inginkan sejak dulu terkabul satu per satu. Namun, bolehkan ia egois? Gadis itu mempunyai ketakutan yang amat besar akan kehilangan. Adhisti tidak ingin kehilangan apa yang telah ia miliki, terutama pemuda yang dicintainya.

"Van, lo gak bakal ninggalin gue, kan?" tanya Adhisti mengutarakan kegelisahannya.

Dahi Kivandra sedikit berkerut.

"Lo udah sering nanya beginian, loh. Gak akan, Dara. Sampai kapan pun gue gak bakal ninggalin lo. Setiap lo butuh bantuan, gue garda terdepan yang bakal ngulurin tangan. Kenapa? Kok kayak gelisah gitu?"

Tatapan dan suara Kivandra yang menenangkan, membuat Adhisti terpaku. Gadis itu tidak bisa melepaskan tatapannya untuk memandang Kivandra. Tak lama kemudian, ia menunduk dan menggeleng.

"Gak, gue takut aja lo kayak mama gue. Ninggalin gak ngasih kata-kata perpisahan. Mana tidurnya di tanah lagi," jawab Adhisti. Suaranya terdengar gemetar. Gadis itu sedang berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri agar tidak terlihat lemah di depan Kivandra.

Mendengar hal itu, Kivandra terdiam beberapa saat, hingga perjalanan mereka menuju kelas agak sedikit lenggang.

"Lo tahu? Mungkin Tuhan udah kangen, pengen jemput ibu lo buat pulang. Tugasnya di dunia udah selesai." Pemuda itu menggaruk tengkuknya, ia merutuki diri sendiri. Lidahnya saja terasa kelu, karena dalam hal seperti ini, Kivandra amat sangat payah. "Em, semua kejadian pahit pasti ada hikmahnya, Dara. Mungkin bisa jadi kalau ibu lo masih ada, lo gak bakal jadi mandiri...? Uh, emm, ya ... Sorry," gumam Kivandra terdengar menyesal.

Adhisti tertawa pelan. Gadis itu menyeka air matanya yang sempat mengalir. Reaksi yang Kivandra berikan sedikit menghibur hatinya yang sedang gundah.

"Gapapa, gapapa, gue ngerti, kok. Jangan ngerasa bersalah gitu, dong. Lucu," ucap Adhisti memberikan sebuah senyuman dan menatap Kivandra.

"Iya. Sorry, ya, dalam hal yang nyangkut orang tua gue payah banget." Kivandra menyahut. "Dan kemungkinan terbesarnya, kalau ibu lo masih ada sampai sekarang, lo gak bakal jadi pribadi yang dingin dan gampang buat gue mencairkan hati lo. Kan, gak seru, gak ada usahanya," sambungnya dengan nada penuh percaya diri.

Ucapan yang terlontar dari mulut Kivandra membuat Adhisti yang sedang tersenyum pun mendadak berubah. Gadis itu memukul punggung Kivandra sekilas dan mendengus sebal. "Narsis terus, heran."

Kivandra terkekeh pelan sambil mengelus punggungnya yang terasa panas akibat pukulan kekasihnya itu. Ia merangkul pundak Adhisti, membuat gadis itu melotot kaget.

"Heh, lepasin!! Nanti orang-orang tahu kita pacaran, woi!!! Gue gak mau julukan gue nambah!"

Kivandra melirik sekilas, kemudian tersenyum simpul. "Ngapain takut? Toh, bilang aja mereka iri. Cewek-cewek gak bisa dapetin gue, cowok-cowok juga gak bisa dapetin lo. Karena lo milik gue, gue milik lo."

Mendengar itu, Adhisti mendengus sebal. Ingin mendebat pun tidak berguna saat Kivandra berada di mode narsisnya.

"Terserahlah. Lagian mana ada yang suka sama cowok narsis tingkat dewa kek lo," sarkas Adhisti.

Harapan di Tahun BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang