"Hhh, pertengahan Oktober UTS," keluh Trisha menghembuskan napas berat.
Agha yang berjalan di sampingnya mengerutkan kening. "Loh kenapa? Bukannya bagus biar cepet dibagi rapot, terus rebahan 24 jam di rumah?"
Mendengar itu, Trisha mendelik tajam. Ia melotot sambil memukul punggung Agha.
"Heh, kenapa sih? Tiba-tiba mukul?" tanya Agha mengusap punggungnya.
"Habisnya, sih. Itu mah kamu aja kali yang rebahan full di kasur 24 jam. Lah aku di rumah pasti disuruh-suruh, apalagi sama abang aku tuh. Pemalas dia kalo lagi libur sekolah. Pasti nyuruh nyuruh aku. Trisha, ambil remote, padahal itu benda gak jauh dari tempat dia nonton bola. Trisha, ambil minum, Trisha, Trisha, Trisha. Paling nyebelinnya tuh, dia dateng buka pintu kamar aku, pas ditanya cuman jawab 'gatau, gabut doang.' Mana gak di tutup lagi pintunya. Beuh, rasa ingin ku tendang masa depannya."
"Ya kalo sama ibu sih aku bungkam, jujur. Ngangguk aja, daripada dicoret dari KK terus jadi gelandangan. Lah abang aku? Bangun jam 11 siang langsung makan, mana mukanya watados gitu. Belum lagi kalo main game, beuh lupa dunia. Aku bagun jam 7 pagi aja ibu ngomel. Katanya anak perempuan kok males malesan. Fix, sih, auto jadi babunya kak Kivan," tutur Trisha dengan raut wajah kesal.
Agha yang setia mendengarnya dari tadi hanya memberikan ekspresi bingung. Ia tidak tahu harus berkomentar seperti apa lagi jika perempuan di sampingnya ini sudah dalam tahap marah.
"Kamu kayaknya punya dendam kesumat gitu ya sama abangmu." Hanya itu yang bisa Agha beri komentar dari kekesalan Trisha.
"Iyalah. Dari kecil malahan. Tapi aku cuman bisa senyum kesel karena dia abang aku."
Agha tertawa renyah. Entah mengapa wajah Trisha yang sangat kesal terlihat lucu di matanya. "Ditinggal kuliah nangis."
"Enggak, dih. Gak akan terjadi itu," elak Trisha.
Ketika Agha ingin kembali menjahili teman di sampingnya, suara pesan masuk mengalihkan perhatian mereka berdua. Trisha membuka layar notifikasi dan raut wajahnya berubah cemas. Gadis itu mengetikkan sesuatu dalam keadaan tangan yang gemetar hebat.
Melihat layar ponsel dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya, sontak membuat Agha terkejut. Ia menepuk pundak Trisha, berupaya untuk menyadarkan.
"Hei, kenapa? Siapa yang chat kamu sampai kamu nangis kayak gitu?" tanya Agha dengan wajah yang tak kalah panik.
Dengan patah-patah, Trisha menatap Agha penuh rasa takut. Ia menutup mulutnya oleh satu tangan dan memberikan ponselnya pada Agha, menunjukkan isi chat yang membuatnya seperti ini.
"Stalker?" gumam Agha. Matanya bergerak ke segala arah untuk mencari seseorang yang menguntit mereka.
"Tenang, biar aku aja yang jawab, ya. Kita menepi dulu, duduk di situ," ujar Agha menunjuk ke bangku taman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harapan di Tahun Baru
Ficção AdolescenteTahun baru adalah tahun di mana semua orang memiliki banyak harapan. Namun, hanya ada satu orang yang memiliki harapan yang sama dari tahun-tahun sebelumnya. Terlahir tanpa merasakan kasih sayang kedua orang tua di masa kecilnya, membuat Adhisti se...