Bab 14 : Langit senja

25 9 0
                                    

Seperti janji Adhisti, mereka berdua mentraktir Maisha bakso pedas.

"Ahh, matematika, belum lagi ekonomi, belum lagi sejarah. Banyak banget Ya Allah tugasnya, seabrek weh. Kenyang aku sama tugas," keluh Maisha dengan kondisi rambut yang berantakan.

"Buset, itu tugas deadline nya kapan?" tanya Kivandra.

"Deadline? Di hari yang sama. Dua hari lagi. Kan tai. Bukan deadline ini mah namanya."

"Terus?" komen Adhisti turut serta dalam percakapan.

"Death-line."

Melihat Maisha yang sangat frustrasi itu, mengundang tawa seorang Adhisti.

"Ya elah, artinya masih sama aja, tuh. Sabar, tugas kuliah lebih dari itu. Anggap aja simulasi," ucapnya.

Maisha menyembunyikan wajahnya di atas lipatan tangan, hal itu membuatnya terlihat semakin menyedihkan.

"Kasiannya temenku. Mau gue benerin kepangan rambut lo nggak?" tawar Adhisti, merasa sedikit tak tega dengan Maisha yang tertekan.

"Wah, boleh tuh."

Raut wajah Maisha berubah drastis. Gadis itu tak mempermasalahkan jika rambutnya diikat oleh Adhisti.

"Lo emang udah biasa dari kecil di kepang dua?" tanya Kivandra.

Maisha menggeleng singkat. "Enggak juga, awal aku di kepang dua kayak gini waktu kelas 10, pas gak kenal sama kalian."

Mereka berdua sempat tersentak, kemudian menganggukkan kepala.

"Oh, kapan mau gerai rambut kayak gue?" Kali ini Adhisti yang bertanya setelah selesai mengepang rambut Maisha.

Mendengar pertanyaannya, Maisha tertawa pelan.

"Kapan-kapan."

"Ini, tiga porsi baksonya."

Mereka mengangguk. Adhisti serta Maisha mulai menuangkan sambal dua sendok. Kivandra yang melihatnya hanya bengong tak percaya.

"Kok kalian kuat pedes?" tanya Kivandra.

"Mayan, lagi stres juga ini. Bersama pedas, kita luapkan rasa stres," jawab Maisha mulai mengaduk bakso miliknya sambil sesekali tertawa hambar ketika mengingat tiga tugas yang harus dikumpulkan di hari yang sama.

"Pantesan cewek-cewek lebih sering kena usus buntu, demen pedes toh ternyata," gumam Kivandra berniat menuangkan setengah sendok sambal.

Namun, rupanya gumaman Kivandra terdengar oleh Adhisti. Gadis itu pun menyentaknya.

"Apa lo bilang?"

"Astagfirullah! Gak, gak ngomong apa-apa!" Kivandra terkesiap, hingga membuat sambal yang berada di sendok Kivandra tumpah semuanya ke dalam kuah panas. "Haduh, niat setengah sendok kenapa malah ujung-ujungnya jadi sesendok."

"Syukurin. Karma lo ngatain, sih."

Adhisti dan Maisha pun memakan bakso yang masih panas tersebut dengan perasaan bahagia, tidak dengan Kivandra yang harus kembali meratapi nasib, berharap setelahnya ia tidak sakit perut.

"Terus habis pulang sekolah, kalian gak bakal ngejemput Agha sama Melati?" tanya Maisha setelah menelan bakso.

"Lah iya juga, ya. Soalnya kita berdua berangkat pakai motor," jawab Kivandra.

"Hn, gapapa lah. Sesekali dibiarin gak akan ada masalah," gumam Adhisti. Meski begitu, ia merasa cemas dengan Agha.

"Dasar. Kalian gak mau mampir ke mana dulu gitu abis jam pulang sekolah? Masa nganter Dara pulang, terus kamu juga pulang. Gak ada momen kalian berdua dong kalau gitu."

Harapan di Tahun BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang