Beberapa hari setelah ia memutuskan hubungan dengan teman-temannya, kehidupan Adhisti kembali seperti sedia kala. Tak ada canda tawa dan seseorang yang yang menemani di sisinya. Benar-benar seperti apa yang ia inginkan sejak dulu. Bahkan sekarang pun Adhisti duduk sendirian. Kivandra pindah teman sebangku karena kebetulan ada salah satu teman sekelasnya yang harus menjalani perawatan di rumah sakit hingga sekarang.
Bahkan hari ini Adhisti izin pulang cepat karena kondisi tubuhnya yang sedang kurang sehat. Untung saja guru mempercayai setelah melakukan pemeriksaan di UKS. Ia mendapatkan surat izin untuk istirahat di rumah selama tiga hari, meski sebenarnya Adhisti ingin lebih lama dari hari yang ditentukan. Semua itu ia lakukan seorang diri, tanpa ada yang membantunya.
"Hhh, demam gue lumayan tinggi juga, ya. 38,3 derajat. Salut masih hidup, gue kira bakal langsung mati detik itu juga," gumam Adhisti berjalan sedikit limbung ke dalam kamar setelah mengunci pintu. Ia mengganti pakaian dan langsung merebahkan dirinya ke kasur.
Gadis itu memejamkan mata, berusaha terlelap dan menjelajah dunia mimpi ciptaannya. Setidaknya untuk meredakan pusing yang menyiksa. Namun, keinginan sederhananya tidak terwujud. Kepalanya memunculkan ingatan saat ia sedang sakit bersama Kivandra.
"Hhh, ini namanya gue yang mutusin, gue yang gamon."
Dengan kondisi kepala yang berputar, Adhisti meraih ponselnya dan kembali membaca ulang pesan-pesan yang telah mereka kirim sebelum akhirnya mereka berdua tidak terjalin percakapan.
Adhisti kembali menghela napas. Masalahnya dengan Arsen yang masih selalu mengikutinya saja masih belum selesai, ditambah masalah hubungannya dengan Kivandra semakin membuat kondisi tubuhnya menurun drastis.
"Kangen banget sama masa-masa ini," gumam Adhisti. Ia menghela napas berat dan berniat untuk tidur. Tidak baik mengenang dan berharap akan kembali seperti dulu. Toh, memang pada dasarnya semua itu hanya ada di masa lalu, dan masa mereka sudah habis.
Namun, saat ia ingin keluar dari aplikasi, ada beberapa chat dari adiknya yang belum sempat ia balas. Lebih tepatnya sengaja tidak dibalas. Adhisti tidak ingin seperti ini, tapi akan jauh lebih baik Agha membencinya daripada memiliki seorang kakak yang hanya memikirkan dirinya sendiri.
"Maaf, Agha. Gara-gara Kakak semuanya hancur."
Setelahnya, Adhisti menelan beberapa pil agar ia bisa tidur tanpa harus mendengar isi kepala yang berisik setiap saat. Gadis itu benar-benar rapuh dan berantakan. Apakah ini balasan Tuhan untuk hamba-Nya yang tidak pernah memikirkan perasaan orang lain?
"Mama...."
~Harapan di Tahun Baru~
Sore harinya, Adhisti terbangun dengan kepala yang terasa berat. Gadis itu mengeluh sesaat sambil memjiat keningnya. Tak lama, ia menyingkirkan selimut yang membalut tubuhnya dan berjalan gontai menuju dapur. Tak jarang ia berjalan sambil meraba tembok agar tidak terjatuh saat menuruni anak tangga.
"Cih, kenapa kamar gue ada di lantai atas, sih. Hhh, ribet," gerutunya.
Adhisti menuruni anak tangga dengan langkah yang pelan. Deru napasnya tak beraturan, hingga membuatnya harus sering duduk di tangga sebelum akhirnya bisa pergi ke dapur.
"Adhisti anaknya Mama harus punya temen. Karena temen itu bisa ngebantu kamu saat dalam kondisi genting."
Memori lamanya terputar, hingga membuat Adhisti terperanjat. Ia memegang kepalanya yang semakin berdenyut nyeri saat potongan memori masa kecilnya mulai kembali.
"Temen...? Hhh, bahkan mereka udah gue anggap rumah, tapi gue sendiri yang ngehancurin pondasinya."
Rasa sesak kembali menghampiri. Ia menghela napas berat dan mengambil segelas air putih serta obat yang meredakan sakit kepala, lebih tepatnya ia mengincar obat untuk menghentikan suara berisik di kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harapan di Tahun Baru
Fiksi RemajaTahun baru adalah tahun di mana semua orang memiliki banyak harapan. Namun, hanya ada satu orang yang memiliki harapan yang sama dari tahun-tahun sebelumnya. Terlahir tanpa merasakan kasih sayang kedua orang tua di masa kecilnya, membuat Adhisti se...