Bab 45 : Misi mempersatukan

17 7 33
                                    

"Terus kenapa Melati sama Kivan berantem?"

Trisha menghela napas panjang. Gadis itu mulai menceritakannya dari awal. Sementara Maisha mengangguk dan terus mendengarkan apa yang Trisha katakan dari mulutnya.

"Ya, gitulah Kak. Mungkin emang cara berpikir cewek sama cowok beda banget kali, ya. Mungkin kata-katanya juga bener, biar aku gak jadi orang tolol karena ngurusin masalah orang dewasa. Tapi yang gak habis pikirnya, apa gak bisa ganti kata tolol sama kosakata yang lain? Soalnya kita gak tahu kata-kata mana yang bakal Tuhan ijabah. Bisa jadi kata tolol nya itu yang malah diijabah. Hhh, ayah juga gak pernah ngebentak, Kak. Sampai samudra menenggelamkannya...."

Setelah pulang dari kediaman Agha, keesokan harinya di sekolah, Maisha terus terpikirkan cerita Trisha. Rasa terkejutnya belum hilang semenjak Agha mengajak mereka ke lantai atas dan menceritakan kedekatan Agha dengan kakak kandungnya, ia harus kembali dibuat terkejut oleh Trisha yang mengadu tentang kata-kata Kivandra.

Gadis itu menghela napas gusar, sesekali memijat pelipisnya yang terasa pusing. Ia menyalakan ponsel dan mencari kontak Kivandra. Terakhir ia chat dengan Kivandra ternyata sudah cukup lama. 

"Hhh, chat dari pagi masih belum di bales sampai sekarang," gumam Maisha.

Kembali ia menghela napas lelah. Ia ingin persahabatan mereka terjalin selamanya. Apakah itu keinginan yang egois? Belum lagi kepribadian Adhisti yang sangat tinggi ego membuatnya sulit untuk membujuk dan membuat Adhisti terbuka.

"Maisha."

"Eh, iya, Dara? Kenapa?" tanya Maisha sedikit tersentak. Ia menatap lawan bicara, mengira yang memanggilnya adalah Adhisti. Namun, setelah mengetahui bahwa yang memanggilnya bukan Adhisti, senyum di bibirnya luntur, digantikan oleh wajah datar. "Oh, sorry. Tadi kenapa manggil?" 

"Itu dipanggil Kivandra. Katanya ada yang mau lo omongin. Dia pengen ngobrol empat mata sama lo," jawab salah satu teman kelasnya.

"Oh, thanks. Emang gue juga, kok, yang menantikan momen bicara empat mata sama dia." Maisha membalas dan melenggang pergi ke luar kelas menuju kelas Kivandra tanpa memikirkan teman yang memanggil namanya tadi.

Semenjak Maisha dipermalukan di depan banyak orang oleh Adhisti, sifat Maisha berubah drastis. Meski gadis itu masih tetap mengepang rambutnya, akan tetapi dengan cara Maisha membalas perkataan mereka, serta tak segan-segan melawan Arsen, membuat suasana kelas berubah menjadi lebih suram. Gadis periang itu telah lenyap dilahap amarah yang sampai sekarang masih belum padam.

Sementara Maisha baru saja sampai di ruang kelas Kivandra. Di sana hanya ada pemuda itu yang menunggu seorang diri.

"Mau ngomongin apa, lo?" tanya Kivandra dengan nada yang tidak bersahabat.

"Santai, dong. Gue juga ngajaknya baik-baik, gak nyolot," balas Maisha berjalan mendekat sambil melipat kedua tangannya di dada.

"Cepetan. Mau ngomongin apa? Gue males basa-basi. Jangan sampai lo ngomongin hal yang gak penting yang bikin waktu istirahat gue percuma gitu aja."

Maisha tertawa kecil. Ia mendekati Kivandra dan menduduki bangku yang kosong, kemudian menatap Kivandra. "Jelas penting, dong. Kemarin Trisha cerita sama gue kalau lo ngebentak. Dia_"

"Apa? Lo mau nyalahin gue, gitu? Dia ngadu yang enggak-enggak, kan?" sela Kivandra dengan nada beratnya.

"Gue belum selesai ngomong. Bisa diem dulu gak?"

"Oh, jadi ini sifat asli lo, Masha?"

"Sifat gue menyesuaikan sama lawan bicara. Jadi tolong berhenti bicara. Gue gak suka ada orang yang motong pembicaraan," ucap Maisha penuh penekanan.

Harapan di Tahun BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang