Selama empat hari berturut-turut, Adhisti selalu berkunjung ke rumah Agha. Pagi-pagi sekali, tepatnya pada pukul setengah tujuh, Adhisti sudah berada di rumah adiknya. Tak jarang ia mengingatkan Agha untuk meminum obat agar kesehatan pemuda itu semakin meningkat.
"Kak, Agha udah sehat, kok. Kakak jangan repot-repot datang ke rumah Agha lagi," tolak Agha secara halus. Namun, Adhisti tidak mendengarkan. Gadis itu membawa termometer dan mengecek suhu tubuh sang adik.
"Hm, demamnya udah turun. Suhu tubuh juga udah mulai normal," gumam Adhisti melihat hasil suhu tubuh Agha yang sudah mencapai angka 37,2° Celcius.
"Tuh, kan. Agha bilang juga apa. Mending Kakak khawatirin diri sendiri. Kakak aja masih pake masker kayak gitu."
Adhisti menghela napas gusar. Ia kembali menyimpan termometer itu di tempatnya semula.
"Gapapa, jangan pikirin itu."
"Kakak juga kenapa bolos sekolah dari awal nganterin Agha ke rumah? Nanti ulangan Kakak gimana?"
"Ulangan bisa susulan, tapi nyawa gak bisa kembali lagi. Udah, Kakak gak mau ngelakuin kesalahan yang bikin Kakak nyesel karena ngebiarin kamu demam tinggi tanpa ada yang ngawasin."
"Hhh, kalau orang tua atau siapa pun yang masih dalam lingkup keluarga kamu mau datang, mungkin Kakak bisa istirahat total di rumah. Tapi denger cerita Melati, paman sama bibi kamu gak bisa dihubungi. Dan cuman keluarga yang boleh jemput kamu pulang. Jadi satu-satunya yang bisa dihubungi, ya Kakak doang. Meski emang gak bisa dibilang keluarga karena gak ada hubungan darah."
Agha tertegun. Ia menghela napas berat saat mengetahui cerita Adhisti. Rupanya paman dan bibinya tidak datang. Padahal saat itu paman dan bibinya berkata jangan menghubungi mereka jika tidak ada kepentingan yang sangat mendesak.
"Maaf, Kak." Agha kembali menghela napas dan menatap Adhisti. "Mumpung Kakak masih ada di sini, Kakak mau ke kamar atas, nggak? Maaf waktu kalian main ke rumah Agha, Agha bohong sama Kakak. Sebenernya itu kamar Agha sama kak Seina sebelum kita berdua dipindahin ke panti asuhan."
Pupil mata Adhisti mengecil. Ia mengangguk ragu dan mengikuti Agha dari belakang. Setelah pintu terbuka, Adhisti duduk di kasur seraya melihat setiap sudut ruangan yang tertata rapi.
"Dulu Seina di kasur yang mana?" tanya Adhisti membuka percakapan.
"Di atas, Kak. Soalnya Agha takut ketinggian waktu itu," jawab Agha mengambil sebuah album dan menunjukkannya ke Adhisti.
"Ini foto waktu waktu Agha lahir, Kak. Perempuan yang gendong Agha sambil senyum itu kak Seina."
Adhisti melihat dengan saksama. Kurva bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman. "Wah, pipi kamu gembul. Jadi itu wajah Seina? Kakak kamu cantik, rambutnya yang di kuncir dua lucu."
"Ah, Kakak bisa aja. Menurut Kakak, Agha mirip nggak sama kak Seina?" tanya Agha menatap Adhisti.
"Hm, mirip, kok. Apalagi hidungnya," jawab Adhisti.
Agha tertawa lepas seraya mengucapkan terima kasih. Tak lama, ia kembali menunjukkan foto-foto lain.
"Ini waktu Agha 3 tahun. Waktu itu Agha kena campak, makanya kak Seina khawatir banget. Karena campak itu menular, terpaksa kak Seina pisah kamar sama Agha. Jadi dia ngasih boneka burung hantu buat nemenin Agha bobo."
Adhisti mengangguk dan setia mendengarkan cerita masa lalu Agha dan Seina yang sangat bahagia itu. Tak lama setelah menunjukkan beberapa foto, Agha menutup album dan kembali menyimpannya.
"Loh, wajahmu sama Seina yang udah agak besar kok gak ditunjukkin?" tanya Adhisti masih merasa penasaran.
"Gak punya, Kak. Kita besar di panti asuhan. Itu juga cuman bertahan 3 tahun sampai kejadian yang ngerenggut nyawa kak Seina datang tiba-tiba."
KAMU SEDANG MEMBACA
Harapan di Tahun Baru
Novela JuvenilTahun baru adalah tahun di mana semua orang memiliki banyak harapan. Namun, hanya ada satu orang yang memiliki harapan yang sama dari tahun-tahun sebelumnya. Terlahir tanpa merasakan kasih sayang kedua orang tua di masa kecilnya, membuat Adhisti se...