Bab 50 : Kontak batin

19 6 14
                                    

Setelah mendapatkan izin dari guru wali kelas serta pengawas ruang ujian, Adhisti segera berlari dengan langkah yang terburu-buru menuju sekolah Agha.

Kekhawatiran terus menerus menghantuinya. Sudah lama ia tidak berkomunikasi, bahkan saling mengirim pesan dengan adiknya. Hal itu membuat segala pemikiran buruk mulai bermunculan di kepala.

"Lagian kenapa lo anggap gue kakak? Lo itu bukan adek gue. Gue anak tunggal! Jadi jangan anggap gue sebagai kakak lo lagi! Lo gak punya kakak kandung apa?! Gedeg gue dengernya!!"

Adhisti menggeleng cepat dan menyangkal semua kata-kata menyakitkan yang ia keluarkan dari mulutnya sendiri.

Enggak, itu gak bener...! Kamu adik aku, Gha. Kakak seneng punya adik!

"Tahu diri, njing! Lo itu 14 tahun! Bukan bocah SD lagi!"

Kembali gadis itu menggeleng cepat dan menutup telinganya rapat-rapat. Air mata mulai menggenang di kelopak matanya. Setiap kata yang terlontar begitu saja dari mulutnya sangat melukai hati. Bahkan Adhisti menolak untuk menerima bahwa itu semua adalah ucapannya sendiri

Gak! Dia manusia, dia adek gue...!! Bukan hewan..!!

Terkadang napas Adhisti terasa sesak, seolah memintanya untuk istirahat sejenak dari berlari tanpa henti. Namun, karena ketakutannya akan kehilangan, membuat gadis itu terus memaksakan diri untuk terus berlari hingga ia sampai di sekolah Agha.

Selang beberapa menit kemudian, Adhisti telah sampai di sekolah Agha dengan napas yang tersengal-sengal. Ia menjelaskan kepada satpam yang berjaga tentang alasan kedatangannya dan diberikan izin untuk memasuki kawasan sekolah, bahkan ia diberitahu satpam tersebut letak UKS.

"Agha, tunggu kakak bentar lagi....!!" gumamnya dengan dada yang naik-turun.

Setibatnya Adhisti di ruang UKS, Trisha menyambutnya, disusul oleh guru wali kelas yang turut mendampingi Agha di UKS.

"Kakak?! Akhirnya Kak Dara datang!!" Trisha memeluk Adhisti. Detik berikutnya, ia melepaskan pelukan dan kembali memasang wajah panik. "Ayo, Kak. Sini. Agha butuh Kakak."

Trisha menarik tangan Adhisti untuk datang ke brankar yang Agha tempati. Setelah Trisha mengajaknya untuk duduk di kursi yang berada di sebelah ranjang, Adhisti terpaku melihat wajah pucat Agha yang sedang tertidur pulas. Sering kali pemuda itu mengigau dan terus menyebut nama Seina.

"Agha, hei, bangun. Ayo pulang bareng Kakak," ajak Adhisti menyingkirkan poni yang mengganggu mata Agha. Ajakannya terdengar begitu lembut, akan tetapi terselip kesedihan di balik nadanya.

"Panas. Berapa suhu tubuhnya?" tanya Adhisti.

"Suhu tubuhnya mencapai 39,4 derajat Celcius. Sebaiknya saya sarankan adikmu untuk tidak sekolah dan mengikuti ulangan susulan di hari Senin nanti."

Pupil mata Adhisti mengecil. "39,4 derajat?"

Wali kelas Agha mengangguk. "Iya. Saya sarankan juga untuk terus memantau kondisi adikmu setiap saat. Jangan biarkan dia terlepas dari pantauan mu sebagai kakaknya."

"Baik, Bu. Tanpa Anda suruh pun, saya akan tetap melakukannya," balas Adhisti. Gadis itu kembali membangunkan Agha dengan nada lembut. "Agha, ayo pulang bareng Kakak. Tidurnya di rumah aja, jangan di UKS."

Adhisti mengelus kepala Agha saat bola mata yang tertutup itu mulai bergerak gelisah. "Kakak ada di sini, jangan takut."

Dalam kondisi setengah sadar, Agha perlahan mulai membuka matanya. Pemuda itu melihat Adhisti sebagai mendiang kakaknya yang sudah meninggal 5 tahun yang lalu.

"Kak Seina? Kakak beneran dateng?" gumamnya lirih.

Tatapan Adhisti terlihat sendu. Detik berikutnya, ia tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya. "Iya, ini Kakak. Maaf, ya, Kakak datangnya telat."

Harapan di Tahun BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang