Bab 26 : Flu

19 8 17
                                    

Keesokan harinya, di rumah Adhisti. Gadis itu sekarang sedang terbaring lemah di kamarnya. Ia hanya ditemani oleh tisu dan obat-obatan.

"Hadeh, flu berat gue kayaknya," gumam Adhisti kembali memakai tisu.

Sudah banyak tisu yang ia pakai. Namun, dirinya masih terus bersin-bersin, hingga hal itu membuatnya mau tidak mau harus selalu mengambil tisu. Bahkan tak jarang Adhisti memijat pelipisnya yang terasa pusing.

Ponselnya ia letakkan di atas nakas. Tak lama, suara pesan masuk membuat Adhisti meringis pelan sebelum mengambil benda tersebut.

"Siapa sih yang chat?"

Dengan malas, ia menyalakan ponselnya. Terdapat nama Kivandra di layar notifikasi.

"Oh, si Jidat."

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Adhisti menggeleng pelan dan tertawa lemah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Adhisti menggeleng pelan dan tertawa lemah. Tenaganya hari ini benar-benar terkuras. Ia hendak menutup ponsel dan menaruhnya kembali ke atas nakas. Namun, siapa sangka, nama Maisha tertera di layar notifikasi. Gadis itu meneleponnya.

"Hhh..."

Ia sempat menutup mulutnya oleh satu tangan, menahan rasa mual yang mungkin akan segera muntah. "Halo?"

"Dara, kamu sama Kivandra nggak sekolah? Katanya temen sekelas kalian bilang, kalian sakit. Tapi kok bisa barengan?" tanya Maisha. Di kelasnya, ia merasa cemas memikirkan kondisi kesehatan Adhisti dan Kivandra.

Adhisti terbatuk-batuk. Gadis itu mengeluh pusing sesaat. "Iya, gue flu, njir. Gara-gara kemarin motor Kivandra mogok, hujan deras. Pakaian gue basah, mampir dulu ke rumah Kivandra dan dikasih baju sama Melati. Pulang jam setengah enam sore, itu juga di anter tante Ayana pake payung."

Mendengar penuturan Adhisti, Maisha semakin merasa panik. Terlebih ketika mendengar suara batuk-batuk dari telepon.

"Gak ke rumah sakit aja?"

"Gak, nanti juga Senin sekolah, kok. Lumayan 5 hari istirahat total di rumah. Kalian jangan jenguk gue. Gue gak mau kalian ketularan sakit."

Meski rasa cemas masih dominan di hati Maisha, ia tetap menghargai keputusan Adhisti. "Ya udah, cepet sembuh buat kalian. Cepetan sekolah, ya. Aku kesepian, nih. Mendadak jadi anak pendiam tahu gak."

Harapan di Tahun BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang