Bab 22 : Peran orang tua

23 9 9
                                    

Semenjak diberitahu oleh Bu Hani bahwa mereka positif meminum alkohol, maka keputusan para guru adalah memberi skors kepada mereka selama satu bulan. Sebenernya mereka ingin mengeluarkan Lembayung dan Arsen dari sekolah. Namun, karena permohonan orang tua mereka dan sogokan uang berjuta rupiah membuat mereka terpaksa meringankan hukuman.

"Hhh, bagaimana ini, Pak Iwan? Ujung-ujungnya di akhirat nanti saya juga kena," keluh Bu Hani memijat pelipisnya yang terasa pusing.

"Saya juga masih memikirkan hal lain, Bu. Sekolah tidak akan pernah dapat keberkahan jika orang-orang berkuasa dengan mudahnya menyogok. Saya mengerti, tapi kita lihat dulu perkembangannya."

"Apakah setelah diberi hukuman skors selama sebulan Lembayung dan Arsen akan berubah menjadi pribadi yang lebih baik atau tidak. Jika tidak, baru kita bertindak untuk mengeluarkan mereka dari sekolah."

Sambil menghela napas berat, Bu Hani menganggukkan kepala.

"Hhh, akreditasi sekolah menurun drastis gara-gara dua murid bermasalah. Semoga hal ini tidak terjadi lagi."

~Harapan di Tahun Baru~

Malam harinya, di kediaman Lembayung tepat di ruang keluarga, mereka sedang berkumpul. Kini, keluarga Lembayung telah lengkap, meski hanya hari ini saja.

Keheningan di ruang keluarga itu semakin terasa ketika satu tamparan keras mendarat di pipi Lembayung. Gadis itu menunduk dan menggigit bawah bibirnya.

"KATAKAN APA MAKSUDNYA INI, HAH?! IBU SAMA AYAH RELA KERJA PAGI SIANG MALAM DEMI MENYEKOLAHKAN KAMU!!! AGAR KAMU MENJADI PRIBADI YANG LEBIH BAIK! YANG BERGUNA! TAPI APA?! KENAPA BALASANMU SEPERTI INI, LEMBAYUNG UTAMI RAYADINATA?!" gertak sang ibu, Adriana. Wanita yang masih memakai pakaian kantor itu menatap marah.

"Hhh, sebenarnya kurangnya Ayah sama Ibu di hidupmu itu apa, Utami? Kita berdua kerja demi kamu, loh. Kamu nggak mikirin perasaan orang tua? Kita rela capek demi kamu, tapi kamu dengan beraninya minum alkohol bersama pacar," sahut Cakra tak kalah dingin.

Mendengar hal itu, Lembayung semakin mengeratkan kepalan tangannya, enggan menjawab pertanyaan dari orang tuanya.

"JAWAB UTAMI! KAU PUNYA MULUT, KAN?!"

"SIAPA YANG MINTA KALIAN KERJA 24 JAM, HAH?!" Lembayung mendongak menatap marah kedua orang tuanya. Matanya berkaca-kaca menahan sesak di dada.

"Siapa yang mengajarimu membentak orang tua?!" gertak Adriana.

"Kalian!!! Kalian ngebentak kenapa Utami harus lembut?! Siapa yang minta kalian kerja 24 jam sampai gak inget keluarga?! Utami enggak minta itu, Ayah, Ibu! Minimal Utami pengen salah satu dari kalian ada di rumah, nemenin masa kecil Utami!!!"

"PERAN KALIAN DI HIDUP UTAMI APA, HAH?! GAK ADA!!! UTAMI NGERASA GAK ADA YANG NGEDUKUNG UTAMI, BAIK SECARA FISIK MAUPUN EMOSIONAL! HIDUP KALIAN CUMAN KERJA! KERJA! KERJA TERUS!!! UTAMI NYA KAPAN?! KAPAN?!"

Amarah Lembayung memuncak. Gadis itu sudah tidak peduli lagi apakah ucapannya menyakiti hati orang tua atau tidak.

"LEMBAYUNG!"

"APA?! KENAPA IBU NGEBENTAK UTAMI?! KALIAN NANYA KENAPA UTAMI MINUM ALKOHOL?! IYA, OKE! UTAMI SALAH! SALAH BESAR KARENA UDAH MINUM MINUMAN KERAS!!! ALASANNYA?! UTAMI GAK BISA BERPIKIR JERNIH! PUAS?! SEKARANG UTAMI YANG NANYA, APA PERAN KALIAN DI HIDUP UTAMI?!"

Suasana kembali hening setelah Lembayung melontarkan pertanyaan kepada kedua orang tuanya. Gadis itu menatap mereka secara bergantian. Hingga tak lama, Cakra lah yang menjawab pertanyaan putrinya itu.

"Peran kami di hidupmu sangat berarti, Utami. Kalau hidupmu tidak didampingi orang tua, kau pasti sudah hidup di jalanan, bareng anak-anak yang hidupnya gak mau diatur orang tua! Kasih sayang dan fasilitas yang nyaman, kita kasih buat kamu!!!"

Harapan di Tahun BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang