Bab 18 : Rumit

21 9 4
                                    

Setelah membaringkan Lembayung di kamar tamu, Adhisti menghela napas lelah. Lantaran, saat Lembayung sedang mabuk dan kehilangan kontrol atas dirinya sendiri, gadis itu seperti dirasuki. Tidak seperti saat Lembayung masih memiliki kendali atas gerak tubuhnya.

"Hhh, masalah satu aja belum kelar, nambah lagi masalah baru. Miris banget," keluh Adhisti menatap Lembayung yang saat tidur pun masih mengigau.

Tatapan Adhisti kosong. Gadis itu merasa heran dengan dirinya sendiri. Mengapa ia tidak bisa untuk tidak peduli kepada Lembayung? Padahal Adhisti sangat membenci Lembayung. Gadis itu memijat pelipisnya yang kembali berdenyut nyeri.

Nalurinya tiba-tiba saja ingin melindungi gadis yang satu tahun lebih muda darinya. Sama seperti saat ia pertama kali bertemu dengan Agha. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa perasaannya terhadap Lembayung tidak bisa sesayang ia dalam menyayangi Agha, yang bahkan tidak sedarah.

Terdapat kebencian yang mendalam dan dendam yang berkecamuk di dadanya. Ada rasa marah kepada Tuhan. Mengapa ia ditakdirkan terlahir dari keluarga yang memiliki ayah seperti Cakra? Apa yang baik dari ayahnya hingga Tuhan menakdirkan Adhisti seperti itu? Yang ada hidupnya semakin berantakan dan penuh luka.

"Hhh, pusing njir. Kenapa gak adil banget." Adhisti kembali mengeluh. Banyak yang mengatakan bahwa Tuhan tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan Hamba-Nya, dan dibalik ujian yang berat, Tuhan sedang menyiapkan hadiah bagi setiap Hamba-Nya yang mau bersabar. Ia bertanya-tanya, hadiah apa yang akan ia terima dari jalan takdirnya yang begitu perih?

"Ayah jahat...!"

Lamunannya buyar ketika Lembayung kembali mengigau dengan air mata yang mengalir. Hal itu membuat Adhisti menghela napas.

"Bangun, heh. Ganti baju sana pakai baju tidur. Kasian baju lo kurang bahan banget," tegur Adhisti mengguncangkan tubuh Lembayung.

Gadis yang tengah mabuk itu membuka mata dan mengoceh tidak jelas.

"Apa lo?! Mau ngancurin hidup gue lagi hah?" tanya Lembayung dengan gerak tangan yang tak menentu.

Adhisti menatapnya datar. "Ganti baju lo sana. Gue ke luar dulu, ngantuk. Habis lo sadar, cepet minggat dari rumah gue."

"Rumah?" Lembayung tertawa kecil dan mengubah posisinya berhadapan dengan Adhisti. "Apa itu rumah? Gue minggat sekarang pun gak tahu harus pulang ke mana."

Adhisti terpaku. Terlintas pikiran yang agak licik di kepalanya. Bukankah orang mabuk tidak memiliki kendali atas tubuhnya? Dan kebanyakan pengguna alkohol tidak akan mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Ini menjadi kesempatan emas bagi Adhisti untuk mengorek informasi dari sudut pandang Lembayung.

"Kenapa lo bilang kayak gitu?" tanya Adhisti mulai memancing Lembayung untuk bicara jujur.

Pertanyaan Adhisti membuat Lembayung tertawa. Gadis itu menatap langit-langit kamar sambil tersenyum miris. "Lo pernah denger cemara di mata orang? Sampai mereka iri dan pengen punya keluarga kayak apa yang ada di postingan?"

Adhisti mengangguk. Sementara Lembayung mulai terisak. Gadis itu menundukkan kepalanya dan menepuk kedua pundak Adhisti yang membuatnya terkesiap.

"Itu yang gue rasain, sialan! Gue ... Dari usia gue 4 tahun, gue gak pernah ngerasain yang bener bener kasih sayang orang tua! Gue ngasih liat hasil gambar gue sama orang tua aja mereka fokus sama kerjaan masing-masing! Mungkin bagi lo, atap rumah gue cuman bocor, dan rumah lo udah hancur karena ibu lo meninggal... Dan ayah lo nikah lagi sama ibu gue..! Tapi lo masih ada sahabat-sahabat yang ngertiin lo...!! Gue iri sama lo, Dara!!"

Adhisti terdiam lama. Tatapan mata Lembayung yang memerah dan berkaca-kaca menjelaskan semuanya. Sesaat kemudian, Lembayung merebahkan dirinya ke kasur dan tidur terlentang.

Harapan di Tahun BaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang