21. Universitas Seni

37 5 3
                                    

Andreas berdiri sambil bersandar dan bersendekap di sisi kusen pintu geser dari kaca itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Andreas berdiri sambil bersandar dan bersendekap di sisi kusen pintu geser dari kaca itu.

"Artinya itu potensi." ulang Andreas. Lauren menatapnya tidak suka. Ucapannya tidak dapat ia mengerti. "Jadi itu alasan kenapa lo tadi ragu waktu nyerang Gionatan,"

Lauren tidak dapat membalasnya. Apakah benar begitu?

"Itu karena lo udah menganggap kita sebagai teman, Lauren." lanjut Andreas. "Lo harus jadi kuat untuk bisa melindungi orang lain. Itulah alasannya kenapa lo punya perasaan semacam itu. Seenggaknya lo terima aja."

"Nah bener." Mevia tersenyum simpul pada Lauren. "Itu bukan kelemahan. Kalaupun ada orang yang mau merebut apa yang kita punya, apa yang kita lindungi. Tinggal kita berusaha buat ambil lagi, kan? Nggak masalah. Yang penting udah berusaha. Namanya juga manusia. Pasti ada batas-nya."

Lauren tertawa hambar. "Apa-apaan kalian. Gue nggak ada seseorang yang bisa dilindungi. Makanya gue nggak ngerasa ada kewajiban semacam itu."

Andreas tercengang dalam diam atas ucapan Lauren. "Apa maksud lo? Emang kemana keluarga lo?"

Lauren menggigit bibir bawahnya. Mungkin ini saatnya dan untuk pertama kalinya ia menceritakan latar belakangnya.

Cewek itu bersandar pada meja patri dapur. Entahlah. Ia tidak tahu harus bilang apa.

"Kalau nggak mau cerita juga nggak masalah, sih." Andreas mengedikkan bahu. Hendak kembali ke ruang tamu begitu juga Mevia.

"Dulu gue punya kakak cowok." ucap Lauren tiba-tiba. Cewek itu menunduk memandang lantai. Andreas menoleh. "Kayak Mevia dong." komentarnya.

"Tapi dia udah meninggal." lanjutnya dengan tatapan sedu. Mevia tercenung me dengarnya. "Gue turut berduka."

"Nggak. Kalau lo berfikir dia meninggal karena penyakit atau kecelakaan lo salah. Dia dibunuh." Bibir Lauren terasa kelu saat mengatakannya.

Mevia dan Andreas sama-sama terdiam tidak ingin menyela.

"Kakak gue dulu salah satu pemimpin geng motor terkenal di Jakarta. Dia terlibat dalam berbagai aksi dan selalu ditangkap sama polisi karena main trek-trek-kan di jalanan. Nggak ada yang bisa nebus dia buat balik. Jadi gue yang selalu dateng buat jadi walinya." Lauren gregetan sendiri ketika mengingat kejadian itu.

"Orang tua? Sejak Bokap gue meninggal karena penyakit jantung, hidup keluarga gue kalang kabut. Nyokap gue jadi pelacur dan sering bawa bapak-bapak hidung belang ke rumah kontrakan. Jadi gue jarang pulang ke rumah sedangkan kakak gue main entah kemana di luaran sana. Hebat banget, kan?" Lauren tertawa miris.

"Waktu itu usia gue 15 tahun. Karena hidup gue nggak tahu mesti di bawa kemana, akhirnya gue memutuskan buat bergaul sama anak-anak gengsters karena pertemuan yang nggak disengaja." Lauren mengambil jeda. "Mungkin mereka sekarang jadi polisi."

LOS(V)ER: You Live SucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang