32. Antara Hidup & Mati

39 4 2
                                    

"Prinsip terkuat dari perkembangan ada di pilihan manusia." — Daniel Deronda
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

32. Antara Hidup & Mati

Ruangan besar itu kosong. Tidak ada siapapun. Tidak ada suara apapun. Tidak ada tanda-tanda manusia yang menghuni lantai ini. Hanya ada satu orang yang tergeletak di lantai dengan bersimbah darah di perutnya. Rivanno mati-matian menahan sakit yang mendera. Ia benar-benar tidak menyukai rasa sakit. Sial. Di mana orang itu? Kenapa lama sekali? Rivanno menoleh ke arah pintu masuk seakan menantikan sesuatu. Detik selanjutnya seseorang mendobrak pintu depan kasar.

Sosok Zen Nakahirama muncul dari sana dengan wajah congkak tersungging. Cowok itu menghampiri Rivanno dengan langkah ringan.

"Jadi ini alasan lo nyuruh gue bawa penawar? Lo udah nyadar sejak awal bakal diracuni?!" Zen berdecak lalu jongkok di samping Rivanno.

Pisau itu masih menancap di tubuh Rivanno. Untungnya Damian tidak mencabutnya paksa. Akan gawat jika pisau itu tercabut pasti dia akan lebih kehilangan banyak darah.

Bibir Rivanno pucat. Dia menatap Zen dengan pandangan sedikit kabur. "Ka—kasih pe—nawarannya!" Pintanya terbata.

Zen merogoh sesuatu dari saku bajunya. Botol kaca kecil berisi cairan yang entah apa. Benda ini sulit di dapatkan sehingga ia harus konsultasi pada seseorang dan membujuknya habis-habisan untuk menciptakan benda ini.

"Asal lo tahu, gimana perjuangan gue buat dapetin ini?" Omel Zen. "Lo pikir ini gratis? Sebagai gantinya lo harus jawab pertanyaan gue."

"Si—simpan pertanyaan lo nanti. Lo nggak lihat gue lagi sekarat!" Rivanno berteriak lemah diakhir kalimat. Merasa dipermainkan. Zen justru tersenyum miring dan dengan enteng membalas, "Dan gue suka lo dalam keadaan kayak gini."

Zen membuka tutup botol itu. Ia menopang kepala Rivanno dan mengangkatnya sedikit. Menuangkan cairan itu ke mulutnya dengan telaten.

Zen mendekatkan bibirnya ke telinga Rivanno dan berbisik. "Lo tahu? Nggak ada seorang pun yang paling bisa lo andalkan selain gue. Itu karena lo percaya sama gue, dan gue sendiri masih percaya sama lo. Bener, kan mantan rival?"

Rivanno tidak merespon apapun atas pertanyaan Zen. Ia lantas memejamkan matanya namun berusaha agar kesadarannya tidak lenyap—sebelum akhirnya Zen menggendongnya dengan posisi bridal style—agar lukanya tidak bertambah parah.

-ooOoo-

Sempat terpikirkan untuk menelepon Rivanno, tapi apakah ia akan terkena amukan cowok itu lagi?

Mevia bergerak gelisah di tempatnya berdiri. Menunggu kedua temannya yang belum kunjung menampakkan diri di lorong sepi ini. Ia sedikit khawatir pada mereka, termasuk Lauren. Apalagi tadi ia bertemu dengan Hugo yang hendak menuju SMA A.H.

"Lo ngapain disini?" Suara Hugo terlihat kaget saat melihat Mevia ketika itu.

"Jangan bohong lo!" Tudingnya melihat gelagat kebingungan Mevia.

"Lauren. Dia—"

Belum sempat Mevia melengkapi perkataannya, Hugo berlari kencang melewatinya. Pasti cowok itu langsung menyadarinya. Mevia menoleh ke arah lorong dan sayup-sayup dua sosok yang ia nantikan muncul dari kejauhan. Tapi, salah satunya tidak sesuai dugaan Mevia. Hanya Lauren dan Hugo. Mereka terlihat berdebat sengit.

"Maksudnya lo ngomong tadi itu apaan, ha?!" Lauren berteriak.

Hugo melepaskan cekalannya pada tangan Lauren. "Berisik banget lo!"

Cewek itu dengan membabi buta memukul Hugo karena kesal.

"Lo sendiri ngapain di sana? Mau pamer, ha?" tuding Hugo.

"Enak aja. Eh, lo jangan mengalihkan pembicaraan, ya?" Lauren kembali memukul cowok itu.

Hugo berlari menghindari Lauren. Cewek itu tidak mau kalah dan mengejarnya. Mereka sampai di lorong tempat mereka berada.

"Lo berdua emang suka nyari perkara, ya?" ucapnya pada Lauren dan Mevia.

"Kita masih nunggu satu orang lagi." ucap Mevia.

Hugo mendelik mendengarnya. "Lo ngajak satu orang lagi? Wah gila!" Hugo hendak berbalik ingin menjemput orang itu. Mungkin saja ia kenal.

"Dia cowok kok, lo tenang aja." ucap Mevia. Ketika sekali lagi ia melihat ke lorong, sosok Andreas berjalan menghampiri membuatnya merasa lega.

"Beruntung Rivanno nggak ada hari ini. Jadi kalian selamet." Hugo berkata.

"Emang dia kemana?" tanya Mevia sedangkan Hugo hanya menjawab, dia tidak mengetahuinya.

-ooOoo-

Sudah nyaris dua jam Zen menunggu di depan ruangan tempat di mana Rivanno sedang dalam proses operasi darurat. Ia termangu dan sesekali menatap kosong ke luar jendela besar yang ada di belakangnya.

Pintu putih itu terbuka menampakkan sosok wanita cantik berusia tiga puluhan dengan jas panjang berwarna putih polos.

"Dia selamat. Pisaunya tidak menusuk begitu dalam dan tidak melukai organ dalamnya. Kau mendapatkan penawar itu dari mana?" tanya wanita tersebut.

"Dari L." balas Zen.

"Pantas saja. L tidak mungkin membiarkan anak itu mati begitu saja. Walaupun dia sudah keluar, dia tetap temanmu, bukan? Karena itu kalian masih saling mempercayai." ucapnya. Tapi Zen tidak merespon apapun. Dia mengalihkan pandangannya kearah lain.

"Kapan dia sadar?" tanya Zen.

"Paling cepat satu bulan." balas wanita itu. Dia menyadari kehadiran sesuatu dan menoleh. Sedikit kaget atas kehadiran beberapa anggota eksekutif mafia lain.

"Wah, aku tidak menyangka bahkan ketua senior lain mau mengunjungi anak itu. Kalau begitu sampai jumpa, Zen." Dia lantas pergi ke arah lorong lain.

Zen melirik dari sudut matanya. Bahkan Lørez yang terkenal dingin dan tidak peduli dengan apapun berada di sini. Five yang mana adalah kaki tangannya selalu berada di sisi orang itu.

Tentu saja mereka langsung tahu, karena Zen tidak membawa Rivanno ke rumah sakit umum. Melainkan markas besar organisasi mafia Hybrid's.

"Yuhu... Zen! Akhirnya aku bisa melihat Theodoric tumbang. Ah, apakah seharusnya aku memanggilnya dengan nama Rivanno?" ucap Shavez dengan nada geli.

"Langsung saja." ucap Zen tidak mengindahkan.

Pandangan Shavez berubah dingin. Nada bicaranya berubah. "The Royal Blue Period. Mereka menghuni SMA Vellfire Neara untuk menunggu kedatangan Neara. Anggota mereka ada lima orang. Dua orang lainnya adalah pion. Yang satu adalah mahasiswa di universitas Royal Season of Art. Dia menusuk Rivanno bukan? Dan satunya lagi orang itu berpura-pura menjadi kakak Neara." Sejenak Shavez tersenyum miring.

"Bagaimana? Kita basmi organisasi itu? Biar sisanya yang akan bos bereskan." lanjutnya.

-ooOoo-

LOS(V)ER: You Live SucksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang