chapter 03

5.8K 534 8
                                    

Jeno parkiran mobilnya di depan rumah mewah yang jauh dari hiruk pikuk kota. Sesuai dengan ucapannya bahwa dia akan pulang hari Rabu, maka sekarang di sini lah dia, di rumah yang jadi saksi tumbuh kembangnya. Dari garasi dia bisa dengar bunyi kemercik air yang menabrak dedaunan juga tawa mamanya yang khas dan berisik tawa anak kecil menyusul. Ada pintu kecil dari garasi yang tersambung langsung dengan taman belakang tempat di mana kebisingan itu muncul.

Langkah Jeno ia bawa sampai di samping gazebo, ada papanya yang sedang duduk bersila sambil menikmati gorengan dan es teh sore hari, di depannya ada mamanya yang sedang menyiram tanaman sembari memandikan keponakannya yang baru berusia dua setengah tahun. Iya, Jeno dilangkahi adiknya sendiri — Erick, namanya, sudah menikah tiga tahun lalu. Usia mereka hanya terpaut satu tahun saja. Erick lebih memilih mengurus usaha kebun dan peternakan papa yang ada di daerah ini daripada bisnis di kota alasannya karena suasana sejuk pedesaan bagus untuk kesehatan anaknya yang masih kecil.

"Kak Jeno?" Suara familiar milik Lia — istri Erick — membuat Jeno kaget dan berbalik, dia liat figur Lia yang tampak sedikit berantakan dengan apron yang masih menempel ditubuhnya. "Mama bilang Kak Jeno pulangnya maleman sebelum acara, kok udah di sini aja sekarang?" Lia berjalan mendekat, hendak menyalami kakak iparnya.

Jeno senyum, menyambut uluran tangan Lia, "Iya, kebetulan pekerjaan udah selesai, jadi langsung aja."

"Oh gitu, ayo duduk di gazebo, Mama pasti kaget banget liat anak kesayangannya yang jarang pulang ini tiba-tiba di sini." Mereka berdua ketawa kecil, tidak terlihat keberadaan Erick, mungkin adiknya itu sedang sibuk mengurus perkebunan yang mau masuk musim panen.

"Mama!" Lia agak berteriak dari posisi mereka berdiri, bukan cuma mama, tapi sang papa sampai tersedak mendengar Lia berteriak tidak jauh dari posisinya menikmati teh yang menantunya buat.

"Jeno!"

"Om Eno!"

Mama nya langsung buang begitu saja selang air dan berlari gopoh menghampiri Jeno, juga si kecil Dyan anak Erick dan Lia yang mengikuti jejak neneknya menghampiri sang om yang sudah lama tidak ia jumpa.

"Kamu udah sampai? Kebetulan banget, jadi waktu siap-siapnya gak mepet-mepet amat." Mama memeluk Jeno setelah mengucapkan itu, terlihat sekali rona bahagia dari wajahnya, senang karena putranya datang atau senang karena perjodohan yang akan dilakukan nanti malam.

Sang papa ikut turun dari gazebo, menepuk bahu tegap Jeno sambil tersenyum. "Mama mu dari kemarin nggak berhenti cerita soal anak temannya itu, Papa jadi lebih penasaran daripada kamu," celetuknya sambil ketawa.

"Iya, Kak, aku udah diliatin fotonya malah." Lia menambahkan.

Di sana Jeno berdiri membalas pelukan sang Mama dengan senyum ala-kadarnya karena dia tidak tertarik sama sekali dengan perjodohan atau makan malam ini, dia datang semata hanya untuk menyenangkan hati mamanya. Itu saja.

"Om Eno, Om Eno!" Jeno melepaskan pelukan sang mama, lalu berjongkok menyamakan tingginya dengan Dyan yang cuma sebatas lututnya.

"Iya, Dyan? Kamu kangen sama Om, ya?" Tanya Jeno.

"Dyan mah cuma kangen mainan yang kamu beliin." Mamanya mengusak rambut basah cucunya itu. Lalu, dibalas tawa Dyan seolah membenarkan kalimat sang nenek. "Lia, mandiin Dyan pake air anget ya di kamar mandi, udah berangin, nanti masuk angin."

Lia mengangguk, lalu menggendong putrinya untuk masuk ke dalam rumah, meninggalkan sepasang ayah ibu beserta putra sulung mereka di sana.

"Kali ini kamu jangan ambil keputusan buru-buru, ya?" Jeno mengernyit mendengar ucapan mamanya.

"Maksud Mama mu itu, kalo diawal emang belum sreg, bisa dicoba lagi lain kali, kenali dia dulu, baru bisa ambil keputusan lanjut atau tidaknya." Seperti paham kebingungan putranya, papa menjelaskan ucapan Mama yang terasa rancu.

Jeno senyum saja. Percuma membantah, orang tuanya akan tetap lakukan hal yang sama; mengenalkan dia ke semua submissive atau perempuan anak teman mereka.

"Iya, Ma, Pa." Hanya itu, kalimat Jeno yang mungkin bisa meyakinkan kedua orang tuanya kali ini.

***

"Gak jauh beda ya seperti di foto, putramu ini anggun dan manis sekali." Mama sudah berkali-kali memuji sosok dengan rambut hitam yang duduk di depan Jeno. Sejak pertama kalinya keluarga itu masuk ke dalam rumah, atensi mamanya seolah cuma untuk si pemuda manis yang memakai setelan baju putih dan vest merah maroon itu. Memang terlihat seperti anak konglomerat yang terdidik.

Jeno juga daritadi cuma bisa senyum atau menjawab bila ada yang mengajak dia bicara, sedikit ia curi-curi pandang ke si rambut hitam yang senyumnya memang lucu, tutur bicaranya juga sopan, dan tau selera humor kedua orang tuanya — nilai tambah untuk yang satu itu, bisa dipastikan mama dan papanya makin suka dengan calon Jeno yang ini.

"Sebelum makan malam dimulai, Jeno mau ngobrol dulu gak sama Yangyang?"

Jeno tersentak. Gak membayangkan sesi bicara berdua dengan calon yang mamanya pilihkan, sampai sini dia paham kalo mamanya sudah mempersiapkan malam ini dengan sempurna. Akan sangat kurang ajar jika Jeno menolak melakukan sesi ngobrol berdua dengan pemuda yang bernama Yangyang itu, maka dia cuma mengangguk kecil sambil tersenyum, tapi dalam hati meragu karena dia sama sekali tidak melakukan persiapan soal apa yang harus mereka bicarakan.

"Nah, yaudah itu ajak Yangyang ke taman belakang aja, biar tenang, sekalian dia tau ada kelinci lucu di rumah kita." Papa menambahkan, lalu percakapan antar orang tua itu berlangsung setelah Jeno dan Yangyang berjalan bersisihan menuju taman belakang dengan Jeno memimpin jalan.

Canggung adalah kata tepat yang menggambarkan suasana antara mereka begitu pantat masing-masing sudah duduk di permukaan kayu gazebo. Bunyi jangkrik menjadi iringan, juga hembusan napas masing-masing yang terdengar sebab sepinya keadaan di sana.

"Kamu gak nyaman ya sama aku?"

Jeno gak menyangkah kalau percakapan pemecah keheningan yang keluar tiba-tiba dari mulut Yangyang adalah pertanyaan menjebak seperti ini. Jadi, Jeno cuma bisa tatap pemuda yang sedikit lebih pendek darinya itu, "Nggak, saya cuma bingung aja mau bicara apa."

"Formal banget?"

"Kita baru kenal."

"Emang harus kenal berapa tahun dulu supaya kamu nggak pake saya-saya gitu ke aku?"

Jeno berpikir. "Nggak tau," jawabnya seperti mematikan topik.

"Itu berarti kamu nggak nyaman sama aku."

Jeno menaikkan satu alisnya dan mendongak menatap Yangyang yang tiba-tiba berdiri menjulang di hadapannya. "Yangyang." Dia mengulurkan tangannya. "Ayo kenalan lagi, kali ini secara informal, aku tau sih kamu lebih tua tiga tahun, tapi can we just act like a normal friends?" Senyum terbit di belah bibirnya.

"Anggep aja kita nggak dikenalin karena mau dijodohin," imbuhnya, masih setiap di posisi berdiri dan tangannya yang masih menunggu sambutan dari sosok dominan di hadapannya.

Jeno tersenyum. Yangyang benar, mamanya juga benar, ini mungkin saatnya buat Jeno ambil langkah pelan-pelan, dia akan coba berproses untuk mengenal Yangyang lewat ikatan teman dan meyakinkan dirinya sendiri, barangkali ini mungkin bisa jadi akhir pencariannya selama ini.

Maka, Jeno berdiri, membuat Yangyang mendongak kecil, lalu Jeno sambut uluran tangan Yangyang dengan senyuman bulan sabit miliknya.

"Lee Jeno, nice to see you around, Yangyang."

[]

to be continued

Scandal | ft. NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang