chapter 24

3.9K 402 16
                                    

Cuaca cerah berangin dengan sejuknya udara di tempat yang lebih banyak hutan dibanding kawasan pemukiman jadi hal yang menyambut Jeno pagi ini. Rumah keluarga Jeno memang terletak agak menjauh dari pemukiman warga, masih dekat dengan area utama distrik — tapi, terlalu dekat dengan hutan dan perkebunan liar. Dan Jeno paling suka duduk di balkon kamarnya sambil menikmati secangkir teh hangat, lalu menghirup sebanyak-banyaknya udara segar murni dibanding daerah ibu kota yang sudah dipenuhi polusi kendaraan.

Mungkin kegiatan itu akan Jeno lakukan nanti jika seluruh daftar pekerjaan yang harus ia selesaikan sudah terlaksana semua. Mama Lee sedang ke pasar modern yang ada di sana untuk membeli beberapa macam hiasan tradisional dan juga bahan makanan. Acara keluarga besar diadakan satu minggu lagi, hanya acara makan-makan seperti biasa, tapi itu tidak semenyenangkan waktu Jeno kecil, persaingan antara saudara Lee makin kerasa setelah anak-anak semakin besar. Jeno tidak berniat andil dalam semua persiapan ini, tapi mamanya memaksa ia datang, setidaknya untuk menghargai Kakeknya yang jauh-jauh dari lintas negara terbang kembali ke tanah kelahiran untuk acara makan-bersama-keluarga ini.

Kali ini Jeno mendapat tugas membersihkan area garasi dan kebun depan, harus dilonggarkan agar mobil para om dan tantenya bisa muat di sana, dia juga harus bicara dengan beberapa pemilik lahan di sekitar rumahnya untuk meminjam lahan itu sebagai area parkir bila memang tidak cukup lagi.

Jeno sudah siap dengan baju santainya, ditangannya sudah ada sapu, alat pemotong rumput, tinggal eksekusi, tapi suara dering telepon membuat dia buang semua alat itu, lantas tersenyum kecil saat nama Renjun terlihat sebagai si penelpon.

"Halo?"

"Jeno! Aku udah sampai!"

Antusias suara Renjun buat Jeno nyamankan posisi dengan duduk di batu buatan yang ada di taman kecil di sana. Sebenarnya keberangkatan Renjun yang harusnya lebih awal dibanding Jeno diundur dua hari karena ada beberapa kendala, jadi Jeno berangkat sehari setelah insiden apron merah muda waktu itu, sedangkan Renjun baru hari ini.

"Udah di hotel?"

"Iyaa! Suasana di sini dingin yaaa," dari seberang sana Renjun sibuk melihat-lihat kota kecil itu dari atas jendela balkon hotel yang gedungnya terlihat tua tapi tidak menyeramkan, ia merasakan setiap udara bersih yang menyapa paru-parunya— sesuatu yang jarang ia rasakan.

"Kalo di sini lebih dingin lagi, terus deket sama hutan, sama perkebunan. Jadi, kapan kamu mau mampir?"

Tidak ada jawaban dari seberang, tapi Jeno bisa dengar suara gumaman Renjun seperti lelaki itu sedang sibuk mencari sesuatu.

"Renjun?" Panggil Jeno ketika tak kunjung dapat jawaban.

"Iya, sebentar, aku lupa belum ngeluarin baju yang mau aku pake nanti malam."

Kening Jeno berkerut. Untuk apa nanti malam? Mau apa lelaki itu di malam hari?

"Mau ngapain emangnya?"

"Oh ini... syutingnya ada yang harus dilakuin nanti malam."

"Mau aku anter?" Jeno cukup terkejut dengan informasi bahwa pengambilan video akan dilakukan di malam hari, padahal siang ini Renjun baru sampai, terus udara di kota itu sedang dingin.

"Nggak lah, kamu muter-muter, dong. Lagian udah ada mobil lah aku."

"Bawa pakaian tebel nggak? Kenapa syutingnya malam?"

"Bawa kok, banyak. Soalnya—"

"Jeno!"

Jeno tidak dengar lagi ucapan Renjun, telinganya menangkap suara orang tidak asing yang kini berlari kecil dari arah gerbang menuju ke tempat Jeno duduk.

"Eh, Renjun, aku matiin dulu ya, nanti kita bicara lagi." Jeno mematikan sambungan telfon tanpa menunggu jawaban Renjun lagi, kini atensinya terfokus pada seseorang yang menggunakan jaket dan celana kain berwarna senada, rambutnya klimis disisir rapi.

"Yangyang?"

Iya, Yangyang— lelaki itu mengulas senyum lebar. "Haii!" Yangyang menyapa dengan nada ceria, sementara Jeno masih bingung kenapa lelaki lebih muda darinya itu berada di sana.

"Kok di sini?"

"Kenapa? Kamu nggak suka, ya?" Yangyang memasang wajah sedih—berakting—membuat Jeno menggeleng dengan cepat.

"Nggak, bukan gitu maksudnya," elak Jeno, tangannya memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celana.

"Mama Lee suruh aku mampir buat makan siang, tadi nggak sengaja ketemu di pasar modern." Yangyang menjelaskan sembari duduk dibatu buatan yang semula Jeno duduki. "Didn't know that you are here, tho. Terus tadi liat dari depan kamu duduk di sini, lagi telfonan sama Renjun, ya?"

Jeno mengangguk kecil, lantas ia berbalik untuk memungut peralatannya agar pekerjaan yang jarang ia lakukan ini cepat selesai. Jujur dia sedikit terganggu dengan mama yang berinisiatif mengajak Yangyang makan siang di rumah mereka, kendati mamanya tau bahwa Jeno sudah punya pasangan, tapi mungkin karena merasa tidak enak atau karena terlanjur senang dengan kepribadian Yangyang — mamanya jadi sering menyuruh lelaki itu ke rumah mereka tiap Yangyang datang mengurus peternakan atau misal seperti sekarang, saat mereka tidak sengaja bertemu.

"Mama Lee bilang mau ada acara, Renjun nggak diundang, kah?" Yangyang mengekor, lelaki itu mengamati kegiatan Jeno yang sedang memindahkan beberapa box-box tidak terpakai di garasi.

"Diundang, tapi dia lagi ada syuting buat albumnya." Jeno masih fokus, tapi ia bisa lihat bahwa Yangyang mengangguk-angguk.

"Mama Lee tau soal hubungan kalian yang cuma palsu?"

Pertanyaan Yangyang sukses membuat Jeno menghentikan kegiatannya. Lelaki itu menatap Yangyang dalam, "Di rumah ini nggak ada yang tau soal itu. Jangan kamu ungkit di sini." Nada bicara serius dan sedikit ada penekanan dari Jeno membuat Yangyang cuma bisa senyum canggung.

"Sorry... aku kira karena mereka orang tua kamu, jadi mereka tau."

Tidak ada respon dari Jeno. Suasana antara mereka jadi canggung, Yangyang merasa tidak enak karena bertanya hal bodoh dan berakhir membuat Jeno kelihatan kesal.

"Ya— yaudah kalo gitu aku ke dalem dulu ya, Jeno! Sampai ketemu nanti jam makan siang!"

Yangyang berlari kecil masuk ke dalam rumah keluarga Lee, sering berada di sana membuat dia familiar dengan Eric, Lia, bahkan putri kecil mereka; Dyan. Beberapa pelayan juga sudah kenal baik Yangyang, semua orang terlihat suka dengan lelaki itu.

Jeno menghembuskan napas pelan, ia tidak bisa memungkiri suasana hatinya yang buruk karena Yangyang tiba-tiba muncul dan mengajukan pertanyaan itu, pasalnya dia takut ada yang mendengar, mengingat yang berada di sana bukan hanya ia dan Yangyang saja. Jeno juga nggak menyangkah kalau Yangyang ternyata sedekat itu dengan keluarganya, dari sini pun dia bisa dengar Yangyang yang sedang bermain bersama Lia juga Dyan di kebun belakang — posisinya dekat dengan garasi.

Ia pikir setelah hari itu, hari di mana Jeno dan Renjun mengatakan mereka benar sepasang kekasih— Yangyang sudah berhenti datang ke rumah ini lagi, tapi dugaannya salah.

Jeno tidak tau pasti apa yang dia khawatirkan sekarang, seperti sesuatu mengganjal yang membuat dia berpikir... jika nanti kebenaran terungkap, jika keluarganya tau soal ia dan Renjun hanyalah sebuah kepalsuaan belaka, apa ucapan Jaemin soal dia yang akan kembali pada Yangyang itu akan terjadi?

[]

tbc

Scandal | ft. NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang