"Pulang kapan kamu?"
Jeno aktifkan loudspeaker ponselnya kala ia menerima telepon dari sang mama, bukan sapaan hangat atau pertanyaan kabarnya bagaimana, tapi pertanyaan kapan pulang yang sudah ditanyakan hampir tiga kali seminggu ini. Entah apa yang terjadi di rumah mereka sampai mama yang biasanya tidak peduli Jeno pulang atau tidak kini menanyakan hal yang sama berulang.
Tangannya masih aktif di atas laptop, mengerjakan tugasnya sebagai pimpinan perusahaan yang jadi tanggung jawabnya sejak sang papa memilih pensiun di usia yang belum terlalu tua. Alasan klise ingin menikmati hidup dengan mamanya, tapi mengorbankan Jeno yang saat itu bahkan belum lulus kuliah.
"Jawab mama, Lee Jeno."
Jeno mendengkus, kalau dia bisa, dia pasti sudah memblokir nomor orang tuanya dibanding diteror dengan telepon seperti ini. "Kalau pekerjaanku udah selesai, Ma."
"Ya itu sih kalau kamu pensiun kaya papa mu sekarang mirip pengangguran."
Jeno bisa dengar protesan sang papa secara samar-samar. Bisa Jeno tebak kalau kedua orang tuanya sekarang pasti lagi duduk bersantai di gazebo rumah mereka sambil minum teh dan melihat kelinci peliharaan mereka bermain bebas di taman depan gazebo, sungguh kehidupan damai setelah pensiun yang selalu papanya bicarakan kini jadi kenyataan.
"Kenapa, Ma? Ada masalah kah sampai telepon suruh aku pulang sering akhir-akhir ini." Jeno utarakan saja ucapkan saja isi pikirannya daripada menerka-nerka.
"Mau Mama ajak ketemu sama temen Mama."
"Perjodohan, lagi?"
Tepat sasaran. Pikiran Jeno soal kedua orang tuanya tidak pernah meleset. Mereka hanya menelpon kalau ada maunya, lebih sering soal mengenalkan Jeno dengan anak-anak teman atau kolega lama mereka agar putra sulungnya itu cepat menikah. Umur Jeno baru dua puluh enam tahun, diumur segitu memang baiknya dia sudah punya setidaknya kekasih, tapi Jeno benar-benar sendiri, hal itu membuat mama sama papanya geram. Hidup berjauhan sama putranya yang lebih memilih tinggal di apartment sendiri, membuat kedua orang tua Jeno khawatir akan pergaulan Jeno. Walau sudah berumur, tidak memungkiri Jeno bisa saja terjebak kenakalan seperti suka membawa masuk teman kencannya dan melakukan one night stand. Mereka tidak mau Jeno melakukan kesalahan semacam itu, maka akan lebih baik jika Jeno cepat menikah dan punya tempat untuk bercerita.
"Coba dulu, No. Dia anaknya manis dan baik, loh. Mama kenal baik keluarganya, usianya beda dua tahun sama kamu."
"Aku masih gak minat, Ma, nanti aku gak punya waktu buat dia malah jadi masalah."
"Ya itulah masalah kamu, kerja terus, sesekali lihat temen-temen kamu sudah punya buntut semua. Kamu malah masih sendiri aja."
Jeno merotasikan matanya, sebal sendiri karena selalu dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Jeno saja gak peduli mau mereka sudah punya buntut atau bahkan cucu, lalu kenapa dia harus meniru mereka disaat dia sendiri belum siap membangun hubungan serius dengan orang lain?
"Mama tunggu kamu hari Rabu buat pulang."
"Iya, matiin teleponnya ya, Ma. Aku mau ada meeting."
Lalu, sambungan terputus dari pihak mamanya. Jeno menghembuskan napas, melempar tubuhnya ke sandaran kursi kerjanya sambil menatap langit-langit. Kalau dipikir-pikir kembali, memang usianya sudah cukup matang untuk memiliki seseorang yang bisa diajak berhubungan serius. Tapi, dia masih belum bisa menemukan sosok yang tepat, rata-rata teman kencannya akan meninggalkan dia dengan alasan Jeno terlalu sibuk, beberapa ada yang bertahan, tapi menghabiskan harta Jeno. Jadi lah Jeno seperti ini, tidak percaya dengan cinta atau komitmen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scandal | ft. Noren
FanficSkandal besar menyandung nama Huang Renjun penyanyi papan atas dengan pengusaha muda kaya raya Lee Jeno. *** warn: homophobic please dont interact, missgendering, mentioned m-preg, mature content, semi-baku, age-switch. slow update!