Aku berharap dengan sangat pada bahagiamu. Aku juga berharap kamu tidak mudah menyerah. Tolong, bertahan.
Serayu Amaya.
Entah sejak kapan tangan keduanya saling bertautan—menggenggam begitu erat. Mereka berjalan berdampingan saling mengukir wajah dengan senyuman yang teramat indah.
Fariz merasa ini hanyalah mimpinya, tetapi tak mengapa, sungguh. Maka jika benar ini mimpi, lelaki itu takkan pernah berniat bangun lalu menghancurkan segala keindahannya.
Serayu juga merasa nyaman bersama Fariz meski hanya perasaan sesaat yang akan pergi setelahnya, tidak ada salahnya menyenangkan hati seseorang, bukan? Yang tidak perempuan itu perhatikan adalah, sebab dan akibat dari perbuatannya sekarang; mengakibatkan Fariz semakin ingin memilikinya.
"Apakah kamu akan mengajakku melihat senja lagi, Ra?" tanya Fariz ketika melihat arah jalan mereka yang menuju ke jembatan.
Serayu menggeleng sebagai jawaban. "Tidak. Masih banyak tempat indah lainnya, 'kan? Kenapa kita tidak mencoba ke sana saja?" balas Serayu dengan napas tercekat setelah selesai mengutarakan pernyataannya.
Fariz merasakan hal yang janggal pada jawaban perempuan di sampingnya, jawaban yang terpaksa dia ucapkan. "Bukan untuk menghindari Akara?" seru Fariz menghentikan langkah Serayu. Mau tidak mau lelaki itu juga ikut memberhentikan langkahnya.
Perempuan di sampingnya tetap bergeming, dengan muka yang sudah pucat pasi. Sial! Seharusnya aku tetap bungkam dan tidak memberitahukan hal yang aku tahu jika akhirnya begini! Kau bodoh, Fariz! Fariz benar-benar merasa bersalah pada Serayu.
Lelaki itu menepuk bahunya pelan; menyadarkan Serayu kembali. "Tidak apa, Ra. Jangan terus menjauh, atau jika sudah terlanjur maka berhenti saja. Tidak se-mudah itu untuk menjauhkan diri pada takdir yang telah tertulis."
Fariz sungguh-sungguh saat mengatakannya, Serayu dan Akara memiliki kisah yang menarik bagi siapa saja yang dekat dengan salah satu diantaranya.
"Aku tidak pernah menjauh, Riz. Dia, selalu ada di sana setiap hari, setiap sore, tidak pernah absen menatap kepergian senja, dan mengantarkannya berganti dengan malam." Serayu juga tidak mengerti kenapa Akara selalu berada di jembatan, dengan posisi yang sama.
Keduanya saling memandang objek yang sama, enggan mengalihkan pandangannya.
Aliran darah dalam diri Serayu berdesir, detak jantungnya sangat kencang bahkan genggaman tangannya pada tangan Fariz mengerat—menyalurkan rasa gugupnya.
"Akara dan senja, ternyata sangat berbahaya," lirih Serayu membuat Fariz membeku.
Nyatanya lelaki itu masih kalah jauh pancarannya dari Akara, sinar keduanya jelas berbeda. Tetapi masih adakah sedikit ruang untuknya? Bukankah Fariz juga layak dicintai begitu hebatnya oleh Serayu? Dia yang lebih banyak meluangkan semua waktu dan tenaganya, apa masih kurang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Yellow (TAMAT)
Teen Fiction《 Diikutsertakan dalam cakra writing marathon batch 5 》 °°° "Mari bahagia dalam kemilau sinarnya sang senja, di bawah langit yang meredup." Serayu tak mengapa jika hanya memandang Akara dari jarak jauh, dia tak masalah bahkan jika Akara memiliki kek...