I Lost My Girl

32.5K 2.3K 21
                                    

-Aku ke Cafe Rumi, Sayang.-

Dylan membaca secarik kertas memo itu. Rahangnya mengeras seketika saat ia mengetahui Lani pergi tanpa Deny bersamanya. Ia kemudian berteriak memanggil Rexan. Pikirannya sudah kacau.

"Ya, Brien?!!" sahut Rexan dengan nafas memburunya.

"Bisa kau telfon Rumi? Lani ada di sana tidak?"

"Oke!"

Dylan menghembuskan nafasnya kasar. Tangannya mencengkeram kuat sisi meja. Ia memejamkan matanya, berusaha menghalau pikiran-pikiran buruknya yang menggoda emosinya. Tak lama Rexan menghampirinya dengan langkah takut-takut. Ya, ia takut Brien akan marah jika tau kalau Lani datang ke Cafe untuk menemui O'neil. Adiknya, pria yang membuat Dylan otomatis mengetatkan rahangnya hanya dengan mendengar namanya.

"Bagaimana?" tanya Dylan dengan tatapan menggelap.

"Lani...,"

"Mencariku ya? Maaf,," Suara Lani hadir dari ambang pintu.

Dylan mengisyaratkan Rexan untuk meninggalkannya. Ia menatap Lani dengan sejuta perasaannya. Marah, kesal, takut, dan juga lega. Ia memejamkan matanya sejenak, mengontrol emosinya yang sudah sangat siap meledak.

"Dari mana?!" tanya Dylan dengan suara beratnya.

"Cafe-nya Rumi," jawab Lani pelan.

"Aku tau. Kenapa kamu pergi sendirian? Bukannya tadi aku udah bilang, bawa Deni?! Kamu nggak tau gimana takutnya aku. O'neil selalu mengincarmu, Lan!!" ucapnya sambil menggeram frustasi. Lani bisa melihat kekacauan di wajah tampan Dylan yang mengeras.

Lani menggigit bibirnya. Ia tak berani mendekat jika Dylan sudah mulai mengeras. Ia melirik dari sudut matanya dengan kepala tertunduk. Ia bisa melihat bagaimana Dylan bernapas frustasi, membuang muka ke arah lain sambil bersandar di meja kerjanya.

Ini pertama kalinya Dylan marah besar padanya hanya karena besarnya ketakutan akan O'neil yang ingin menghancurkannya. Tidak!! Itu tidak akan terjadi. Bahkan O'neil sudah berada dalam genggaman Lani. Lani tak menggerakkan kakinya seinchi-pun. Ia masih diam di tempat, mengamati Dylan dari ujung bulu matanya.

"Say something!" Dylan kini menatapnya tajam.

"Aku mau pulang!" ucap Lani sedikit gemetar.

"Kenapa? Seharusnya aku yang marah karena..."

"Aku bukan anak kecil lagi!!" Lani kini menegakkan wajahnya membalas tatapan Dylan.

Dylan mengatupkan rahangnya. Lani bisa melihat itu. Kedua tangan yang mengepal keras lalu mata kelabunya yang semakin gelap. Ia merutuki dirinya sendiri. Seharusnya ia tidak mengeluarkan kalimat konyol itu. Seharusnya ia membuat Dylan menerima alasannya. Tapi sesuatu dalam dirinya membuat semuanya berantakan. Lani tak bisa mengendalikan dirinya kembali. Ia menatap tajam pria yang sangat mencemaskannya. Semua karena bayangan yang selalu mencemooh dirinya, lihatlah kamu berbanding terbalik dengan Dylan yang begitu sempurna. Sebaiknya kamu berhenti bermimpi hidup bersamanya.

Apa-apaan ini?!! Lani menggelengkan kepalanya. Ini diluar kendalinya. Bagaimana mungkin ia bisa bersikap menjijikkan, membuat pria itu mungkin berubah membencinya.

Untuk sementara keduanya hanya terdiam. Lani pun masih berdiri di tempat. Sesekali ia menahan napasnya, menjaga air matanya agar tidak mengalir. Tidak! Ia tidak boleh menangis di hadapan Dylan. Karena itu hanya akan membuatnya terlihat lemah. Lani semakin menundukkan kepalanya, menggigit bibir bawahnya untuk menahan sesaknya.

Dari ujung bulu matanya ia bisa melihat Dylan bergerak mendekatinya. Ia merasakan tubuhnya menegang. Ia takut Dylan semakin kalap padanya. Ini pertama kalinya ia mendapati Dylan marah dengan sangat karena ia mengabaikannya. Terlebih karena pria itu begitu khawatir O'neil akan menyentuhnya lagi. Tidak ada yang bisa Lani katakan selain menatap kosong tubuh Dylan yang kini berada tepat di hadapannya.

Adorable Ugly ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang