The Breaker

41.8K 2.4K 28
                                    

Dylan meraih remote control nya lalu menekan tombol kunci otomatis pintu ruangannya. Pria itu kini membungkus tubuh Lani dengan tubuhnya, erat. Ia hanya diam, dengan nafas pendek-pendek, membuat Lani mengulum lagi lidahnya yang hendak mengeluarkan kalimatnya. Cukup lama Lani hanya mematung di dalam kungkungan pria itu. Sampai kemudian ia melingkarkan kedua lengannya, mengusap kecil punggung pria itu.

"Kenapa? Kenapa kamu sulit buat nggak peduli dengan perasaan orang lain? Kenapa kamu harus membiarkan kamu tersiksa sendiri karena perasaan orang lain? Lani, please. Mulai detik ini, berhenti memikirkan perasaan Ruli. Dia, bukan siapa-siapa kita."

Nada suaranya rendah, sedikit menuntut, bernada ketakutan. Itu membuat Lani diam tak berkutik. Hanya memberanikan diri menatap mata kelabu yang menggelap itu. Lani membuang napasnya pelan.

Selama ini ia memang sibuk memikirkan perasaan wanita sempurna itu. Ia tertawa lirih dalam hati.

Untuk apa? Untuk apa ia melakukan itu? Bukankah ini memang bukan urusannya? Seharusnya ia berhenti. Seharusnya ia melupakan Ruli kemudian berdiri tegak, menatap Dylan yang memujanya sejak dulu. Satu lagi, ia pun memuja pria itu sejak dulu.

"Sayang,,,"

Lani menarik kembali kesadaran dirinya lalu menghidupkan kembali kontak matanya saat mendengar bisikan putus asa itu.

"Ya, Dylan?"

"Lupain Ruli. Lupain bahwa dia wanita sempurna karena cuma kamu yang sempurna buatku," pintanya dengan sungguh-sungguh.

"Ya."

"Berjanjilah untukku, sayang."

"Aku berjanji." Suara Lani berbisik nyaris tak terdengar tapi cukup mampu membuat Dylan melengkungkan senyumannya.

"Aku cinta sama kamu, Lani-nya Dylan, my Lovely Wifey."

***

"Kamu bilang dia sudah menikah? Mereka menikah?!!"

Suaranya nyaris berteriak memekakkan telinga gadis itu. Gadis itu secara reflek menjauhkan ponselnya dari telinganya.

"Biasa aja!"

"Gimana bisa? Astaga! Aku bahkan baru meninggalkan jakarta dua minggu dan aku mendapatkan kabar buruk ini?" geramnya.

"Memangnya abangmu nggak ngasih tau?"

"Nggak usah nanya! Dia kacungnya cowok itu!" dengusnya.

"Terus kamu mau apa? Nggak mungkin kamu gagalin kan mereka udah resmi."

"Aku akan merebutnya!"

"Dinal, please! Ini nggak lucu!"

"Oya? Emang iya nggak lucu! Aku akan pulang dalam waktu dekat. Merebut apa yang seharusnya menjadi milikku."

Ruli menghela nafasnya. Ada sedikit kecewa saat ia mendengar kalimat terakhir cowok itu. -Merebut apa yang seharusnya menjadi milikku-. Lalu kemarin-kemarin apa cowok itu serius mencintainya? Mengejarnya? Sampai dia rela melakukan apa saja untuknya.

"Maksudmu?"

"Oh, aku pasti lupa memberitahumu. Aku jatuh cinta padanya sejak dulu. Sejak kami masih sekolah. Dan...,"

"Aku hanya pengganti wanita itu selama ini?" tanya Ruli lirih.

"Aku.., aku nggak bermaksud..,"

"Cukup. Aku-- mengerti."

Ruli menghela nafasnya sambil meletakkan ponselnya.

Tak pernah ada yang benar-benar menatapku sejak awal. Kenapa harus selalu merasakan ini? Aku lelah menjadi yang kedua. Selalu yang kedua.

Adorable Ugly ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang