Ini sudah beberapa jam Dylan mendiamkannya. Pria itu bahkan tak menatapnya sedikitpun. Dylan marah padanya karena keputusan bodohnya. Tentu saja! Siapapun pasti tak akan mengambil keputusan bodoh seperti Lani. Sesempurna-sempurnanya orang pasti ia akan memiliki titik dimana ia harus mengeraskan hatinya. Ini diluar logika orang waras.
Lani menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia melempar tatapannya keluar jendela mobil. Sementara Dylan terus sibuk dengan gadget-nya. Tidak seperti biasanya Dylan mengabaikannya. Ada rasa kecewa yang mencubiti hatinya. Semakin nyata sesak itu saat ia mengingat kalimat pedas Ruli tadi siang.
-Karena bisa saja dialah pelakunya.-
Pelakunya di sini adalah dirinya. Ia yang membuat pria itu kecewa padanya. Memang seharusnya ia menghindari O'neil. Tidak seperti ini.
"Dylan..," panggil Lani lirih.
Pria itu sama sekali tak menunjukkan reaksinya. Ia masih tetap fokus pada gadget-nya. Lani mendengus. Apakah rasa cemburu dan gadget-nya lebih menarik dari pada dirinya.
Karena kamu, wanita yang tak tau diri, sisi batinnya kembali mencemooh.
Aku, si wanita bodoh yang tak pernah tau diri! Oh, astaga! Mengenaskan sekali diriku, serunya dalam hati.
Dering ponselnya membuat perhatiannya terpecah. O'neil lagi! Lani hanya memandangi layar ponselnya. Cukup lama. Ia tak tau harus diapakan ponselnya. Sampai kemudian sebuah tangan meraup ponselnya lalu melemparkannya begitu saja lewat jendela yang ia buka sedikit. Kemudian pemilik tangan itu kembali fokus pada gadget-nya tanpa sepatah kata. Menatapnya pun tidak. Fix! Ia tak memiliki apa-apa sekarang.
Pekerjaan tidak! Ponsel pun baru saja lenyap!
Ia ingin sekali marah. Memarahi pria yang semaunya sendiri itu. Pria yang selalu berhasil membuatnya menelan amarahnya mentah-mentah. Sialan!! Ia tak bisa melakukan apa-apa saat berhadapan dengannya. Semuanya lenyap tak berarti. Hanya menyisakan dirinya yang memuja padanya.
Lani menghembuskan nafasnya. Ia menekuk tangannya, membuatnya memeluk tubuhnya sendiri. Apakah hidup harus semengenaskan ini? Lani tertawa lirih. Sangat lirih sampai-sampai hanya dia sendiri yang bisa mendengarnya.
Ia hanya memandangi punggung Dylan yang lebih dulu keluar dari mobilnya, melenggang masuk menuju ke flat-nya. Ia sama sekali tak berniat menunggunya seperti biasa yang pria itu lakukan padanya. Dan harus diingat, ini jauh lebih menyakitkan daripada mendengar kenyataan bahwa ternyata dirinya bukan satu-satunya wanita yang pernah dekat dengannya.
Ia menelan sendiri kegetirannya saat ia tak menemukan Dylan di ruangan manapun. Hanya ada satu ruangan tertutup yang tak bisa ia jamah. Ruang kerja Dylan. Pria itu lebih memilih ruangan itu di antara banyaknya ruangan yang ada. Ruang kerja yang selama ini tak pernah ia gunakan semenjak Lani tinggal bersamanya. Meskipun ia harus melanjutkan pekerjaannya, ia pasti akan memilih balkon sebagai tempatnya dan Lani akan menemaninya di sisinya. Tapi sekarang semuanya berbeda. Pria itu lebih memilih mengasingkan dirinya dalam ruangan itu.
Lani mengerjabkan matanya, menahan air di pelupuk matanya. Ia kemudian beranjak meninggalkan kamar Dylan, kamar yang bisa ia tiduri bersama. Ia kini beralih pada satu kamar kosong yang sedianya dulu akan Lani tempati sebelum rencana berubah. Tangannya kini meraih kenop pintu, memutarnya perlahan kemudian mendorongnya. Kamar yang sedikit lebih kecil tapi nampak sangat rapi karena selalu dirapikan oleh maid yang disediakan apartemen itu secara gratis untuk sekedar bersih-bersih. Lani bergerak perlahan mendekati ranjang itu setelah ia menutup kembali pintu itu. Ia kemudian duduk di tepi ranjang. Tangannya meraba pelan ranjang yang terbungkus sprai berwarna putih bersih. Ia kemudian merebahkan tubuhnya dengan kaki dibiarkan menjuntai ke lantai. Begini akan lebih baik, gumamnya sambil menatap langit-langit kamar. Ia tersenyum samar, mengatur deru napasnya yang terasa sesak entah sejak kapan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Adorable Ugly Man
FanfictionFahlani Azalea. Panggil saja aku Lani. Aku wanita single 24 tahun bekerja di sebuah SMA sebagai penjaga perpustakaan. Pertemuan singkat dengan seorang pria tampan di sebuah pesta pertunangan sahabatku mengingatkanku pada seseorang di masa SMA. Mata...