Episode 9: Kabur dari hotel

174 59 15
                                    

Pukul 23.45 waktu sekitar.

Aku membalikkan posisi diatas tempat tidur, karena sedang tidur nyenyak aku tak tau apa yang terjadi diluar pintu kamar yang terdengar berisik dan mengangguk. Kelopak mataku sedikit terbuka, walau samar, aku dapat melihat pria itu, si presdir Yattomi bergegas meraih jasnya di kaston sambil menggengam telfon.

Wajahnya tampak panik, dia berlari kearah ku. Aku yang masih setengah tertidur tiba-tiba dibangunkan ketika dia menyentuh bahuku.

"Hei." Aku membuka mata perlahan.

Setengah tersadar aku bergumam. "Hah?"

"Kau tinggallah disini. Seseorang akan menjemputmu besok pagi, anggap kita tidak pernah bertemu." Keningku berkerut, mengerjap beberapa menggumpulkan nyawa.

"Apa maksudmu?" Aku akhirnya bisa sedikit tersadar.

"Situasi darurat. Mereka akan datang kesini menangkapku, kamu tidak bisa terus bersamaku, Jen. Aku tidak akan membahayakanmu." Dia bangkit. Aku keburu menahan lengannya.

Dia menatapku, kami bertatapan. "Apa kau akan melarikan diri?"

Dia diam, tak menjawab. Aku tidak tau apa yang dia pikirkan saat ini. "Aku ikut denganmu. Aku tau kamu akan melarikan diri,"

"Bukan darimu-"

"Ya pokoknya aku ikut!" desakku. Aku tidak tau kenapa jadi sentimental seidkit kepadanya, aku masih tidak terima kepadanya yang terus melarikan diri. Kami bertatapan lumayan lama dalam keheningan kamar. Sampai suara sahut-menyahut seseorang dari lobi perlahan mendekat, suara itu begitu berisik dan mengangguk, langkah kaki segerombolan orang bersentuhan dengan lantai dilobi, beberapa pintu kamar lain terdengar diketuk paksa jika tidak akan yang mau membuka pintu.

Ya iyalah, tengah malam seperti ini, siapa juga yang mau mengangguk waktu tidur mereka, namun mendengar suara petugas yang mengancam akan mendobrak yang terdengar sampai kamarku. Praktis, aku melotot menatap pria itu.

"Sekarang!" pekikku. Dia praktis membawaku lari kedalam gendongannya ala bride style, dan berlari kearah jendela, sebelah tangannya sibuk membuka jendela, bergantian dia yang juga memasang earphone secara terburu-buru. Aku gemas, ketika earphone itu tak kunjung terpasang ditelinganya, ku rebut, lalu memasangkannya. Dia diam sesaat menatapku, aku menepuk dahi. Dalam situasi darurat seperti ini tidak bagus untuk banyak lemanan. Ia kembali mendorong jendela kamar, bahkan daun jendela geser itu jatuh ke bawah dari lantai lima belas.

Kami tak sempat mencemaskan jatuhkan daun jendela, pria itu langsung melompat kesebuah gondola yang biasa dipakai untuk membersihkan kaca disana, aku pikir itu bukan kebetulan, dia pasti sudah meminta temannya untuk menyiapkan gondola tersebut.

"Hallo, aku sudah diatas, menuju kearahmu." dia berkata kepada seseorang lewat earphone yang terpasang.

"Baik, ku tunggu. Bergegaslah, Max." aku dapat mendengar suara dari earphone walau sangat pelan. Detik kemudian gondola yang kami naiki bergerak turun dengan sangat cepat, mataku terpejam, rasanya seperti melucur turun. Tak sempat sampai kedasar, pria itu mengayunkan gondola seperti bermain ayunan, ia lalu memotong sebelah talinya dengan pisau yang ada didalam sakunya.

Aku memekik, mengeratkan genggaman disekitar lehernya. Tubuh kami melesat diudara, rasanya seperti terbang. Sampai hampir sampai digedung sebrang, ia langsung memelukku erat demi mendarat tanpa sebuah luka. SHAP! Dia mendaratkan kakinya dengan gaya. Jika aku bisa melihatnya langsung aku juga pasti akan memuji seberapa keren dia, tapi mengingat siatuasi, ku urungkan niatku.

Aku turun dari pangkuannya, dia menekan earphone ditelinga. "Dimana kau?"

"Kau turunlah dengan lift, tenang saja, aku sudah meminta temanku membukakan akses pintunya."

The Between Us (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang