Episode 19: Ditepi laut Singapura

66 17 19
                                    

Ditepi pantai kota Singapura, sekelompok orang-orang menari diatas lantai dansa. Wanita-wanita berpakaian minim dan lirikan mata pria hidung belakang disana-sini. Apalagi sejak pertama kali aku menginjakan kaki disini, bergabung bersama turis lain yang sedang berpesta dengan iringan musik dj.

Para pria tidak berhenti menatap kearahku, satu-dua bersiul, walau aku hanya mengenakan dress biasa namun mereka sepertinya tetap dapat melihat lekuk tubuh. Bahkan beberapa dengan berani hampir menyentuhku. Aku praktis menepis tangan mereka kasar, mengirimkan tatapan tajam sebagai peringatan, lalu pergi ke pojokan-- sebuah sofa berbentuk kubus berwarna putih, satu-satunya tempat kosong dari para bajingan itu.

Angin malam terasa dingin ditampat sepi seperti yang kududuki. Jarak pantai dari sini sangat dekat. Bahkan derum ombak seperti iringan kompak bersama musik dj. Orang-orang berseru mengangkat gelas wine mereka.

Seorang waiter mendekati meletakan gelas dan menuangkan wine didalamnya. "Silahkan nona." Setelah berterima kasih padanya, dia pergi menghampiri pengunjung lain.

Aku menyesap wine itu. Rasanya ringan dan lembut, manis.

"Hey sweetie," aku tersentak. Pria itu duduk ditepi meja dihadapanku.

Wajahnya sangar, alisnya tebal, dahinya menekuk, dengan senyuman penuh arti. Ia menatap penampilanku. "Sepertinya kamu sendiri, ya?"

Aku berdecih, membuang muka. Pria itu terkekeh geli. Mendekat. Menekukkan tubuh tepat dihadapanku, wajahnya menunduk, menarik daguku.

"Jangan acuhkan aku. I don't like this."

"Lantas? Kau mau apa, huh?" tatapku sengit.

Ia tersenyum lugas, bibirnya maju, nyaris menempel ditelinga. "You, sweety. Come date playing with me,"

"Aku kesini bukan untuk bersenang-senang, denganmu." Aku kembali mengabaikannya, menyesap wine.

"Walau hanya kecupan kecil?" sebelah alisnya terangkat, menggoda.

Aku tersedak, tersenyum lugas. "Jangan harap." senyum lebar ia perlahan surut. Tatapan ia berubah menajam, dahinya menekuk dalam.

Dia menarik daguku keras, tidak seperti tadi. Maniak tajam itu bertemu denganku lekat. Nafas kami saling menabrak, jarak wajah kami hanya sekitar lima centimeter.

"Jangan remehkan aku, bitch."

BRUG!

Wajahnya melayang dariku. Ia tersungkur dilantai. Beberapa pengunjung disekitar kami menoleh, berseru tertawa. Pria itu berdecih, menyentuh sudut bibir yang robek. Kaget sekaligus kesal. Tidak menyangka aku bisa memukulnya sekuat itu.

"Jaga bicaramu. Atau.."

"HONEY!"

Kami dan beberapa orang menoleh kearah suara. Pria berpakaian formal dari jauh berlari mendekat. Ia berdiri dihadapanku dengan wajah khawatir, menyentuh kedua bahuku. "You okey?"

Ia melirik aku dan pria yang tersungkur dilantai dengan meniak elangnya. "Enyah kau, bajingan."

"Don't touch her, she's mine!" sergahnya menarik perhatian sekitar.

"You okey, dear?" ia kembali mengulangi pertanyaan. Aku mengangguk pelan, kaku, saat dia mengelus bahuku. Pria itu yang dibantu oleh seorang waiter.

"Bawa dia. Jangan biarkan kami melihat dia lagi." tegas Max diangguki kedua waiter itu, membawa pergi pria bajingan itu.

Lenggang, orang-orang menatap pelaku kekacauan. Max dan aku bertatap. "Jangan pergi sendiri lagi." Sebelum bibirku bersuara ia menyambar. ".. ada aku, jangan menolak, aku tidak menyukainya."

The Between Us (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang