Episode 11: Tuan Theo & Nona Lily

168 52 16
                                    

Dilain tempat. Solon langsung kembali ke Jakarta dengan jet pribadi untuk bertemu dengan seseorang. Seperti amanat Max, sebagai tangan kanannya, ia akan membalaskan dendam pria itu.

Solon turun, dibukakan pintu mobil oleh seorang pria berjas. Dua pria sigap yang menjaga didepan pintu membukakan daun pintu sebuah ruangan menuju gudang dibawah tanah mansion tersebut.

Gelap gulita, satu-satunya penerangan diruangan tersebut adalah lampu yang menyorot seorang pria paruh bertubuh gempal yang duduk dengan posisi kedua kaki dan tangan diikat.

Pria itu berseru, memberontak melihat Solon mendekat bersama dua bodyguard. "Selamat pagi dan selamat malam, V7.6." senyum manis dan wajah riang Solon yang khas mendadak lenyap ketika sampai diruang gelap gulita ini.

Ia menarik kain yang melingkar dimulut pria itu. "Apa maumu, Solon! Lepaskan aku!! CH akan marah jika mereka tahu perbuatanmu!" murka pria itu.

"Perbuatanku? Tuan V7.6 dengar, jika mereka tahu perbuatanku pun tidak akan berpengaruh apa-apa untuk CH karena kau adalah bagian terkecil dari keberadaan CH. Crost Herschel masih memiliki pembisnis lain yang lebih penting dari keberadanmu. Jadi percuma saja jika kamu memberitahu mereka hanya untuk menyelamatkan dirimu saat ini." Solon menjeda, menyeringai. "Bukan mereka yang akan marah, namun kau."

Wajah pria paruh itu memerah kesal, memberontak dari kursi. "Akan percuma jika kamu melawan. Sebab, jika kau terlepaspun, tidak akan mudah keluar dari ruang ini." setelah mengatakan itu, dari setiap sisi ruangan maju pria berjas hitam yang masing-masing membawa senjata.

"Tenang saja tuan Robert, perusahaan mu masih bisa berjalan tanpa keberadaanmu kok. Gennest group memiliki penerus yang hebat daripada ayahnya," kata Solon menyeringai, mengarahkan moncong pistol kearah pria itu.

Dor! Pistol menembak menembus betis pria setengah paruh itu. Ia meringis kesakitan, Solon tertawa. Satu bodyguard maju, membawa sebilah pisau.

Syat! Sret!

"Arghh!!" pisau menyayat wajahnya berkali-kali hingga darah merembes ke jas mahal yang ia kenakan.

"Selamat malam, tuan Robert. Aku akan membalaskan dendam tuanku, kau akan menyesal sudah menolak permintaan Max, CH X3.2."

"ARGHH!!" teriakan kesakitan memekik diseluruh ruang bawah tanah. Untungnya mansion Solon memiliki sistem kedap suara. Ruangan ini biasa dijadikan tempat penyiksaan oleh pria itu dan kelompok Max.

***

Clik!

Pintu kamar tertutup otomatis. Presdir itu memberikanku waktu untuk istirahat selama kami berada disini. Ketika sampai dikamar pertama kali Max bahkan membelikan beberapa style pakaian untukku yang dibawakan oleh Room steward. Ada beberapa piyama, baju renang, gaun mewah dan beberapa pakaian ganti lainnya.

Waktu sudah menunjukan pukul 16.04 waktu sekitar. Aku sudah siap menuju deck atas menikmati fasilitas kapal, menggunakan baju renang yang tidak terlalu terbuka, sebuah rok plisket semata kaki dan atasan, tak lupa dengan topi rajut.

Sampai di deck atasan, ramai. Orang-orang dari negara lain berpakaian minim melintas disepanjang mata memandang. Duduk bersantai dipinggir kolam.

"Hey lady!" seseorang menyapaku. Aku hanya mengangguk sebagai balasan. Pria itu berlari membawa balon menuju kolam.

Byurr!

Aku berdiri di tepi pagar, menatap lautan lepas. Angin ditengah laut berhembus lumayan kencang, aku sesekali menahan topi agar benda itu tidak terbang terbawa angin.

The Between Us (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang