Episode 20: Wawancara yang tertunda

59 18 15
                                    

"Bagaimana?" mata Max dan Holls bertatap, presdir itu menyeringai, kepercayaan dirinya tinggi. Sulit menolak dirinya yang memiliki posisi besar. Semua bisa untung dan buntung, tergantung bagaimana caranya bekerja sama.

"Apa yang aku dapatkan jika membantumu?"

Max tersedak. Ia sudah menduga hal ini. Solon menyerahkan amplot lain kepada Max. Pria itu mengeluarkan beberapa surat-menyurat didalamnya, mendorong lembaran itu yang bergerak halus diatas meja hingga mendarat sempurna dihadapan Holls.

"Bukankah selama ini kau yang paling banyak mengunakan pabrikku untuk keuntunganmu? Berpikirlah, jika pabrik itu tutup bukan hanya aku, tapi kau dan orang-orang pada daftar itu akan kehilangan banyak uang jika kolega langganan kalian bangkrut. Bukan hanya pengeluaran kian membengkak, namun butuh waktu lama mencari pengganti Millian's apalagi mencari yang setara, bukan?"

"Lagipula orang besar sepertimu pasti mudah jika hanya diminta kesaksiannya. Aku akan kaget jika hal mudah seperti ini sulit dilakukan oleh orang besar sepertimu." Pria setengah paruh itu melirik lembar daftar kolega Millian's diatas meja. Meneguk ludah.

Apa yang Max katakan barusan benar. Apalagi perusahaannya sudah banyak bertransaksi dengan pabrik itu, walau bukan tidak terlihat oleh publik tapi perusahaannya bahkan sudah bertahun-tahun menjadi konsumen Millian's, bahkan berlangganan. Mendengar pabrik itu dalam krisis haruskan dia lebih dulu menyelamatkan perusahaannya daripada pabrik itu?

Namun jika seperti itu, benar. Butuh waktu lama dan pengeluaran yang besar untuk mencari pengganti produksi senjata bahkan yang lebih berkualitas. Sulit, sangat sulit.

Ia bangkit, menarik kursi. Hendak melangkah.

"Aku punya banyak tawaran menarik jika Millian's berhasil terselamatkan, tadinya. Namun seperti banyak kolega lain yang sepertinya lebih tertarik dengan tawaran itu." ucap Max berhasil menghentikan langkah Holls. Mereka bertatap. "Kenapa Mr.Holls? Pintu ada disebelah sana, waktumu sangat berharga bukan, untuk menghabiskan waktu dengan berdiri diam seperti itu?" Max menyeringai, membuat wajahnya menakutkan dalam arti lebih dalam.

Holls menatap lekat, tangannya terkepal, meneguk ludah. "Bagaimana caranya?"

Senyum Max melebar. Pria itu bersorak dalam hati. Sudah dipastikan sejak awal ia tidakakan ditolak, analisisnya memang tidak pernah meragukan. "Aku akan mengirimkan tata caranya padamu. Sementara itu kau boleh kembali ke rumahmu dan tidur dengan nyaman sampai esok pagi tiba, tapi ingat jangan sampai ada satu detikpun yang terlewat untuk menyelesaikan kasus ini."

Langkah Holls kembali terhenti ketika berhendak pergi. Dia bosan terus menatap Max yang terus memaksa. "Selain itu, bisakan anda meyakinkan beberapa kolega lain untuk membantu menyelesaikan kasus ini agar lebih cepat? Aku, kami dan kau tidak bisa membuang banyak waktu berharga, kan?"

"Baiklah." Ia akhirnya dapat pergi bebas, naik tangga menuju lantai dasar. Para penjaga membiarkannya pergi dengan mudah karena semua urusan sudah selesai.

Pria itu sudah ada dalam genggaman Max. Semua dapat berjalan sesuai dengan rencananya.

***

Nestapa berubah warna ketika matahari datang untuk menggantikan bulan. Ini sudah hari kesekian ketika aku ikut dalam perjalanan ini.

Ketika aku bangun, Max belum juga pulang. Daripada memikiran hal tidak pasti aku memilih manyiapkan diri dan sarapan. Ditengah itu, pintu hotel dibuka. Sesuai dugaanku itu dia.

Ia menghampiriku dimeja makan. Mata kami bertemu setelah malam berlalu. Kenapa? Alisku terangkat sebelah.

"Kemasi barang-barangmu. Kita kembali siang ini ke Indonesia," nasi goreng didalam mulutku berhenti di olah. Pria itu berlalu masuk ke kamar mandi, membersihkan badan.

The Between Us (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang