Episode 10: Kapal pesiar mewah

154 56 27
                                    

Mobil sedan kami melesat masuk kedaerah perkotaan. Semula aku bingung kami sedang dimana, dan dinegara apa. Kini semakin masuk ke perkotaan, aku mulai tahu. Kami ada di Teluk Manila, Filipina.

Lama diperjalanan, kami habiskan dengan urusan masing-masing. Aku memilih membuka notebook dari dalam totbag, presdir itu sedang asik mengerjakan pekerjaannya di laptop, dan Solon tentu saja sibuk menyetir, sesekali melayangkan candaan pada presdir itu dan aku.

Kami tiba di sebuah pelabuhan satu jam dua puluh menit kemudian. Bukan hanya kapal-kapal terjajar di dermaga, tapi juga ratusan bahkan ribuan peti kemas tersusun hangat satu kilometer dari posisi kami.

Dia memasukkan laptop kembali kedalam tas, begitu juga aku--membenahi barang.

Aku melihat ia yang berpamitan dengan Solon, dengan satu dua kalimat dan sebuah pesan amanat. "Aku sudah mendapatkan pesan dari Aiden. Aku akan segera menemui V7.6." kata Solon mendapatkan anggukan Max.

"Jangan sampai dia lolos."

"Aku akan membalaskan dendam mu, Max." Solon nyengir.

Sebelum pria itu membuka pintu, ia menatapku kebelakang. "Pergilah bersama Solon, Jen." untuk pertama kalinya dia memanggil namaku. Aku cukup specheless karena dia.

Keningku berkerut, bergantian menatap Solon yang masih memegang stir. "Solon akan kembali ke Jakarta untuk membantuku menyelesaikan kasus ini. Sementara itu, kamu ikut menumpang bersamanya sampai Jakarta. Anggap kita tidak pernah bertemu, Jen." aku diam memikirkan banyak hal.

"Kenapa kamu sangat ingin aku pergi, Max?" dia diam. Kaget, ketika pertama kali mendengar aku menyebut namanya.

Dia tersadar, kembali menatap diriku. "Aku tidak bisa membiarkan orang lain terluka karena diriku. Perjalanan ini sangat berbahaya, kamu tidak ada hubungannya dengan kasus ini."

"Aku akan ikut bersamamu. Entah aku akan berguna lain waktu atau tidak, tapi aku sudah terlanjur terjerat dalam kasus ini. Maka, biarkan aku ikut, Max." Aku menatap mata pria itu, yakin. Sementara ia menatapku lekat. Lenggang beberapa saat diantara kami.

Ia menghembuskan nafas. "Baiklah." Aku berseru dalam hati. Kami membuka pintu mobil kompak. Aku melingkarkan totbag di bahu kiri, mengikutinya melangkah menuju dermaga. Mobil Solon segera pergi, sepeminggalan kami.

Ia berhenti. Melirik arlogi, "Kita akan naik kapal menuju Hongkong?" Dia menoleh padaku, mengangguk.

4-5 menit kami menunggu. Aku melirik Max yang diam menatap lautan. "Apa tidak berbahaya berdiri disini menunggu mereka datang?" Dia tak menjawab.

Aku mendengkus kecil, menyapu pandangan ke sekitar. Sebuah kapal pesiar besar terparkir hangat sepuluh meter dari tempat kami berdiri. Aku menatap orang-orang yang sedang mengantri memasuki kapal itu. Pelabuhan ini ramai, semuanya hendak berlibur dengan kapal tersebut.

Drrttt.. ddrrtt..

"Hallo?"

"Kapal Aiden berputar arah. Mereka tidak bisa melewati arah awal, kalian harus menaiki kapal lain." suara Solon di telfon.

"Kenapa?!" presdir itu memekik kesal.

"Kapal patroli sedang berlayar didaerah kalian. Jika mereka melihat kapal Aiden mendekat, mereka tentu akan menangkapnya, dan kamu." Max memegangi kepalanya, kesal. Aku menatap lurus, lautan. Benar, jika mereka kemari, maka bukan hanya Aiden-sekertaris Yattomi- tapi mereka juga akan menangkap Max, jika mereka tahu keberadaan kami di pelabuhan ini.

"Apa kau punya cara lain, Max?" tanya Solon.

Presdir itu tak menjawab, sedang berpikir, tanpa ditanya juga dia sedang memikirkan rencana apa yang akan dilakukan selanjutnya. Ia menyapu pandangan, berhenti tepat di sebuah kapal pesiar besar yang terparkir sepuluh meter dari kami. Ia melihat para penumpang yang sedang mengantri masuk, kebanyakan dari penumpang itu adalah rombongan keluarga atau pasangan.

The Between Us (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang