Episode 17: Daftar kolega bisnis

91 21 36
                                    

"Aku minta bantuan mencarikan jawaban."

Huh? Walau tidak mengerti, aku tetap mencoba mendengarkan keseluruhan apa yang ingin ia katakan padaku.

"Kakek Wu mengatakan jawabannya ada didekatku. Seseorang. Mungkin. Namun ketika melihat kamu dekat denganku sedang tidak berada disisi ku, membuatku khawatir."

Langkahku praktis terhenti. Aku yang semula menatapnya acuh tak acuh justru dibuat membatu, apa katanya tadi? Apa yang dia katakan? Aku sungguh tidak mengerti maksud dia. Apa pria itu mengerti apa yang barusan ia katakan?

Bola mataku membesar, entah kenapa aku merasa hal janggal ketika mendapati jantungku yang berdegup dibuatnya. Kenapa ini? Aku tidak merasa memiliki penyakit jantung, riwayat kesehatanku selama ini cukup baik apalagi jantungku.

Dia membalikkan badan menyadari langkahku yang terhenti. Kedua alisnya terangkat. "Why?"

"Nope. Get over it," aku jalan mendahuluinya. Ia tak membantah. Kami terus melangkah menuruni bukit.

***

Ketika kami berdua masuk kedalam kuil, semua mata tertuju pada kami. Max mempersilahkan aku untuk duduk bergabung dimeja, sebelum pria itu menyusul. Kakek Wu menahan lengan dia sebelum ia merapatkan bokong di bantalan.

"Tehnya sudah habis. Tolong buatkan yang baru," mata kakek Wu menunju teko kosong.

Max tidak membantah. Mengambil alih benda itu membawanya ke dapur. Aku diam saja ketika dia pergi, mengangguk sopan ketika tatapanku bertemu dengan kakek Wu. Beliau hanya tersenyum tipis.Canggung rasanya. Aku kembali diam membisu, menyibukkan pikiran apalagi ketika Juan terus saja menatapku. Dia sepertinya menyimpan banyak tanya.

Di dapur Max memanaskan air lebih dulu. Ia meraih wadah kecil yang terbuat dari tanah liat, berisi bubuk teh hijau asli.

Gelembung air semakin banyak dipermukaan air, bersamaan uap yang menciptakan suhu panas disekitar panci.

Srat! Mata pria itu memicing tajam. Instingnya bagaikan kelalawar aktif dimalam hari. Tanpa ia menengok, pria itu sudah tau sosok seseorang berada dibelakangnya.

"Ternyata kau memang hebat, Max. Instingmu tidak pernah salah," sarkas pria itu menodongkan benda tajam tepat dibelakang punggung Max. Jika Max bergerak satu centi saja, benda itu akan menyayat kulitnya.

"Tidak bisakah kau sedikit bersabar? Teh nya akan segera siap, Juan." mata Max memicing menatap pria dibelakangnya daei ujung mata.

Pria itu tertawa renyah. Ia tak gentar menjauhkan pisau digenggamannya. "Ayolah.. sudah lama kita tidak bertemu, apa kau tidak ingin samb-" belum kalimatnya terselesaikan. Ia buru-buru mengungkup ketika Max hendak menendang kepalanya.

Pria itu menyeringai. Suka dengan gerakan spontas Max walau membuat lengannya sedikit terluka akibat pisau yang digengaman Juan. Tak berhenti dari sana, Juan balas memberi serangan. Mengayunkan pisau dengan gerakan halus tapi mematikan. Dengan tangan kosong Max balik melayangkan tinju juga sesekali menghindar kejaran benda tajam itu. BRUG! Sudur bibir Juan berhasil dirobek, tepat ketika wajahnya bertemu tinju Max.

Srat! Senjata Juan berhasil menyayat sedikit pipi kiri Max. Juan tertawa jahat, membalaskan dendam. Pertarungan semakin panas, berlangsung cukup lama, bahkan membuat air didalam panci menggeliat mengembuskan nafas.

Pertarungan didasari sekedar melatih kemampuan masing-masing. Sudah bertahun-tahun dua kawan itu tidak berjumpa. Max tahu bahwa diantara mereka tidak akan ada yang berkhianat. Juan Li sudah menjadi orang kepercayaan keluarga Wu-Li.

Brug! Brug! Brug! Pisau itu terbang, Max siap melayangkan pukulan mematikan pada targetnya. Tepat sebelum ia kalah, Juan menutup kedua mata, terpojok. Keningnya mendatar, ia tidak merasakan pukulan dalam beberapa detik, membuka mata. Tinju Max melayang tepat satu centi dari hidung mancung Juan.

The Between Us (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang