Episode 28: Tanah para bandit

61 18 15
                                    

Kami akhirnya menikmati makanan masing-masing. Setelah berdebat kecil penjual soto membawakan dua mangkok pesanan. Tak ada suara lain yang kami hasilkan selain suara sendok dan garpu.

"Kawanku!" seseorang mendekat ke meja kami meletakan dua gelas besar es teh. Kami tak memesannya, kami sudah memiliki es kelapa sebagai minum. "Ini dia, silahkan dinikmati.." ia berkata ramah.

Dia pergi sebelum aku sadar, tepat dia melewati Ram, kedua tangan mereka menyatu tanpa menimpulkan sedikitpun gerakan mencurigakan. Mereka bertingkah seperti tak saling kenal.

"Kau suka teh tawar dingin? Jika tidak aku bisa meminta gula pada mereka." aku mengusap sudut bibir, membersihkan sisa kuah soto yang meninggalkan jejak. Aku menggeleng singkat. "Baiklah."

***

"Ayo," mangkok dan gelas sudah tandas. Ram berdiri.

"Kemana?" Aku menatapnya penasaran, tetap mengikuti langkahnya. Kami berjalan cukup lama diatas trotoar bersama para pejalan kaki lain. Aku hanya bertanya-tanya kemana kami selanjutnya.

Keningku mengerut dalam. Kami tiba ditempat sebelumnya. Gedung pesta, tempat aku bertemu Emily, tempatnya bertemu rekannya. Pestanya belum selesai. Parkiran masih penuh dengan mobil dan kendaraan mahal.

"Boleh kupakai lagi, motornya?" kami tiba didekat motor sahabatku. Kami meninggalkan motor ini sejak tadi disini karena tergesa-gesa melarikan diri.

Aku mengangguk menjawab. Ia menyodorkan helm, naik duluan setelah mengenakan helmnya. Motor diparkirkan, aku menyusul naik. Motor kami melaju pergi dari tempat itu.

Kamo tiba ditempat tujuannya. Aku kaget saat motor merapat dipinggir jan didekat tiang jalan. Kenapa kesini?

Apa pria ini gila? Dia pergi kesini seolah kami tidak pernah kesini sebelumnya.

Mengunjung lain melintas ringan diatas trotoar. Satu-dua pedagang kaki lima merapat dijalan. Dia melepas helm tanpa masalah, menatapku bingung. Dia membantuku melepas helm, menarikku kembali kedunia nyata.

"Ayo pergi."

Kami pergi kebelakang gedung. Masuk kearea gang yang terhapit gedung-gedung pencakar langit yang berkilau dimalam hari.

Di ujung gang lebih dalam, rumah sederhana yang harusnya kuyakini ada disana menarik perhatian. Banyak orang berdiri disana, mengerumini rumah yang tampak lebih bercahaya dari biasanya. Kami tiba ditanah para bandit. Markas dimana harusnya mereka berkumpul.

Bola mataku melebar. Tubuhku membeku sempurna. Orang-orang mulai pergi, menggeleng prihatin. Tak ada satupun dari mereka yang berniat menelfon pemadam kebakaran.

"Kudengar disana ada nenek rumah yang terjebak."

"Sungguh? Itu mengerikan.. aku juga melihat jasad cucunya," hanya itu yang kudengar dari bisik satu-dua penduduk yang melewati kami.

Kepergian orang-orang itu membuat kami dapat melihat langsung apa yang terjadi leluasa. Dihadapan kami, rumah sederhana yang kuketahui sebagai markas utama Crost Herschel terbakar habis, juga gedung besar dibelakangnya. Disekitar kami berceceran banyak benda, bahkan jasad manusia tanpa identitas.

Aku menutup mulut kaget. Polisi itu langsung memelukku. "Don't see him."

Wajah dari kepala yang kami temukan sangat tidak asing. Dia adalah satu anggota yang disuruh dibuka topengnya oleh petinggi saat itu. Kini dia sudah tewas mengenaskan. Tubuh dimutilasi dengan kepala terpisah, wajahnya hitam terpanggang.

Aku berseru ngeri, menggigit bibir bawah. Crost Herschel. Mereka tidak main-main saat mengetahui mereka sedang berurusan dengan satu polisi rahasia yang licin. Mereka langsung menghancurkan semuanya, markas, uang, harta benda yang ada disana dan membunuh sisa orang-orang yang juga berkhianat. Dipanggang hidup-hidup dengan membakar dan meledakan gedung casino terbesar itu. Menyebabkan bukan hanya benda-benda tapi uang kertas yang terbakar berceceran dimana-mana.

The Between Us (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang