15

177 20 4
                                    

"Laki-laki memang sama aja!"

ᕙ⁠(⁠☉⁠ਊ⁠☉⁠)

Di bawah sorot sinar matahari sore, tepatnya di depan pintu keluar-masuk rumah sakit, Alisa tengah berdiri. Rasa bosan dalam penantian membuatnya mondar-mandir dengan sorot mata yang mengikuti arah lalulintas kendaraan. Sesekali ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu memang sudah sore. Entah apa yang dilakukan sahabatnya di dalam, hingga ia harus menunggu lebih dari dua puluh menit.

Nasib tidak membawa mobil sendiri satu-satunya alternatif gratis adalah nebeng di Aisyah. Minusnya harus menunggu.

Merasa pegal berdiri Alisa melangkah beberapa meter saja. Di sana terdapat bangku yang diapit dua pohon sehingga aman dari paparan sinar matahari. Tidak hanya duduk menunggu, sorot mata Alisa selalu berharap Aisyah segera muncul dari dalam rumah sakit.

"Halo!" Seseorang menyapanya. Sontak Alisa menoleh.

"Ziyech. Kamu ... sedang apa di sini?" Dari raut wajahnya nampak bahwa Alisa terkejut. Bagaimana tidak, pria itu sudah duduk di sebelahnya tanpa permisi. Tidak hanya terkejut, tapi Alisa juga terlihat panik. Ia mengamati sekitar—memastikan bahwa tidak ada yang memantaunya dari kejauhan.

Sang ayah. Sosok itu yang Alisa takutkan.

"Kenapa?" tanya Ziyech, heran.

"Tidak. Tidak ada apa-apa. Kamu sendiri ... ada perlu apa ke sini?" Alisa bertanya balik.

"Tidak ada. Hanya saja saya perlu bertemu denganmu."

Alisa tak lagi heran dengan perkataan pria berhidung mancung itu. Lantas Ziyech bertanya, "Kamu kenapa duduk di sini? Bukankah ini jam kamu pulang? Atau ... kamu sedang menunggu saya?"

"Tutup mulutmu! Saya sedang menunggu Aisyah," Alisa menjawabnya.

Ziyech mengedikan bahunya. "Saya rasa kamu sudah lama menunggunya, akan lebih baik jika kamu pulang sama saya."

"Tidak perlu."

Ziyech menautkan alisnya, mengamati gadis itu lamat-lamat. "Ada apa denganmu, Nona?"

"Tidak ada apa-apa. Kamu boleh pulang sendiri saja." Alisa masih santai menanggapinya.

Ziyech memilih diam, tak lagi membalasnya. Lengang untuk beberapa saat.

"Sepertinya kita harus segera menikah," celetuk Ziyech, membuka suara. Alisa lantas menoleh. "Apa maksudmu?" tanyanya.

"Benarkah kamu tidak tahu bahwa kita harus segera menikah?"

Alisa menatap bingung. "Memangnya kenapa?"

"Agar bidadari ini tidak bisa lagi menolak ajakan saya." Ziyech tertawa. Itu cukup menyebalkan bagi Alisa.

"Kamu pikir saya mau menikah sama kamu?" Alisa memalingkan wajah, malas.

"Kenapa tidak? Saya akan membicarakannya dengan Ayahmu."

"Ziyech. Jangan bercanda!" Sorot mata Alisa terlihat jelas bahwa ia kesal.

"Kenapa? Kamu tidak ingin menikah dengan saya?"

"Bukan itu maksudnya."

"Bukan itu ... maksudmu?"

"Maksudnya tidak sekarang."

Ziyech tersenyum. "Tidak sekarang ... itu artinya nanti kamu akan menikah dengan saya? Begitu maksudmu?"

"Tidak. Bukan itu." Alisa tampak gugup. Jelas bahwa kalimat tersebut keluar begitu saja dari mulutnya.

"Sudahlah! Tidak perlu malu untuk mengatakannya," goda Ziyech. "Sekarang kita pulang. Sepertinya Aisyah masih lama."

Mine (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang