7

80 14 4
                                    

Aku sibuk dengan laptop milikku malam ini. Mencoba mencari berita tentang Buddy. Apakah dia masih hidup, atau hantunyalah yang mengirimkan pesan singkat itu padaku.

Cemas.

Tentu saja. Aku bahkan tanpa sadar terus menggigit kukuku dengan mata yang tertuju pada layar. Sialnya, aku tidak berhasil menemukan apa pun.

"Akh," keluhku saat kuku yang kugigiti sudah hilang dan malah kena jariku sendiri.

Nyeri. Baik jari mau pun kepalaku yang kelebihan muatan. Tidak sesuai memang aku ini kalau disuruh berpikir berat.

"Apa dia benar hantu? Ekornya susah sekali dipegang."

Baiklah, kucoba sekali lagi. Kalau ini gagal, aku akan menyerah hari ini. Tanganku kembali  bergerak cepat demi mendapatkan informasi yang kuinginkan. Harus cepat. Aku mulai ngantuk soalnya.

"Haha ... Kena juga kau," kataku saat menemukan adanya celah kecil.

Mataku langsung terbuka lebar saat ribuan informasi kini menerjangku. Pekerjaan baru. Aku harus menyaringnya menjadi lebih sedikit dan akurat agar bisa kucerna.

Dan hasil Akhirnya ... Adalah ... Dia bukan Buddy. Bukan clonenya. Bukan juga hantu.

Kini foto seorang gadis yang usianya tiga tahun dibawahku terpampang di layarku. Seseorang yang kukenal sebagai adik dari Buddy.

Gadis yang selama ini selalu disembunyikan keberadaannya sang kakak, kini malah muncul dihadapanku. Sepertinya dia tahu apa yang sudah terjadi pada kakaknya.

We will meet. Soon.

Sebuah pesan yang tiba-tiba muncul. Dia tahu keberadaanku rupanya. Cukup pandai.

"Tapi ... Dia ini lawan atau kawan?"

Hah, sudahlah. Yang penting aku tahu siapa dia. Lebih baik tidur sebentar, walau langit sudah mulai terlihat menguning karena matahari yang hampir terbit.

"Hoamh," kataku menguap lebar ketika suara ketukan terus-menerus terdengar. Sungguh mengganggu !!!

"Apa?" tanyaku dengan suara serak setelah membuka pintu sambil memakai selimut tebal hingga ke kepalaku.

"Kau tahu jam berapa sekarang? Bukankah seorang istri harusnya menyiapkan kebutuhan suami?" tanya Yoongi dingin.

"Jam tujuh pagi. Memangnya mana suamiku? Kau itu cuma laki-laki yang memaksaku untuk menyandang nama nyonya Choi. Dan kalau kau butuh sesuatu, bukankah sudah ada pembantumu yang selalu siap setiap kali kau butuhkan? Jangan membuatku kesal di pagi hari."

Yoongi menghela nafas berat. Keningnya berkerut tanda kesal.

"Nanti siang kujemput. Kita makan siang bersama," katanya.

"Mau memajangku lagi? Lama-lama aku sama seperti manequien rasanya. Kau memperlihatkan ke semua orang, dan mengatakan kalau aku milikmu."

"Kau memang milikku. Mau kubuktikan?" tanyanya dengan suara rendah dan mata mengarah ke leherku.

"Aku bisa melemparimu dengan vas bunga lagi kalau kau melewati batas."

"Tidak ada yang bisa membatasi seorang Choi Yoongi. Asal Anda tahu itu nyonya Choi."

Aku membanting pintu dengan keras tepat di wajahnya saat dia sudah sangat dekat. Sial, aku bahkan bisa melihat bibirnya ke arahku. Mata oh ... Mataku.

Dasar ... Kenapa aku harus berhadapan dengan manusia seperti itu di pagi ini sih. Kapan semua neraka dunia ini berakhir?

Menunggu dia mati sepertinya butuh waktu sangat lama. Orang itu masih muda dan sangat sehat. Kuracuni saja makanannya bagaimana? Tapi dia juga jarang makan di rumah. Kenapa susah sekali jalan untuk melenyapkannya?

Part Of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang