18

78 10 0
                                    

Wanita itu mengeluarkan satu per satu kotak berisi makanan yang dia bawa. Dia bilang sengaja membuatkan semuanya spesial untukku. Atau lebih tepatnya untuk menyuapku.

Aku tidak mengerti kenapa dia masih mau bersusah payah untuk melakukan semua ini, padahal yang punya urusan adalah suaminya dengan Yoongi.

Dan masalah itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya denganku. Karena bagaimana pun aku memang tidak pernah ikut campur urusan perusahaan Yoongi. Kecuali untuk masalah terakhir kali yang terjadi.

"Kenapa Anda membawa semua ini?" tanyaku berpura jadi bodoh dan tersenyum konyol saat ini.

"Aku hanya ingin menyapamu. Ini makanan yang pernah kita makan bersama. Kurasa Anda menyukainya, karena itulah aku membawakannya hari ini," ucapnya dengan senyuman manis mungkin.

Jujur, melihatnya malah membuatku ingin muntah. Karena kutahu semua yang dia katakan hanya kepalsuan belaka. Tersembunyi dibalik topeng wajah ramah nan murah senyum miliknya itu.

"Singkirkan," ucap seseorang yang tiba-tiba sudah berada di belakangku. Aku tidak perlu berbalik untuk tahu siapa dia.

Satu-satunya orang yang punya kuasa di sini. Choi Yoongi tentu saja.

"Tuan Choi, saya hanya ingin membawakan istri Anda makanan yang dia sukai. Sama sekali tidak ada maksud lain," katanya dengan halus.

"Dia alergi seafood. Anda ingin membunuhnya?" ucap Yoongi dengan nada dingin nan tajam.

Wanita itu terkejut. Dia kembali memandangku dengan wajah panik.

"Maaf aku sama sekali tidak tahu. Kenapa Anda tidak mengatakannya?"

"Karena tidak penting," jawabku.

Insiden waktu itu bisa disembunyikan dengan baik oleh Yoongi dengan beralasan aku tiba-tiba tidak enak badan. Bagus. Aku juga tak mau melihat dia bereskpresi kasihan terhadapku. Tak butuh juga.

"Tentu saja penting. Anda adalah istri Tuan Choi," ujarnya.

"Jadi ... Kalau aku bukan istrinya, maka aku bukan orang penting. Ah, begitu rupanya. Aku baru tahu sekarang."

"Maksud Anda?" tanyanya bingung. Aku mengibaskan tangan di udara. Tanda apa yang kukatakan juga tidak penting untukku mau pun dirinya.

"Kulihat putra Anda tidak memilikinya," kataku mengubah topik tiba-tiba.

"Tidak punya apa?" tanyanya.

Tentu saja dia bingung, karena dalam kamus hidupnya, sang putra harus selalu mendapatkan apa pun yang terbaik di dunia ini.

"Mata hijau milik Anda."

Tubuhnya menegak begitu mendengarnya. Jangan lupakan reaksi terkejut yang kembali muncul itu. Sama seperti ketika terakhir kali aku menyinggungnya.

Aku melirik sekilas pada dia yang mengeratkan genggaman pada tas yang dia pangku sedari tadi. Padahal aku hanya bermain sedikit dipermukaannya, tapi sudah begini.

"Ah ... Saya harap ini pertemuan terakhir kita di sini. Ini rumah saya, dan saya tidak suka ada orang yang keluar masuk sesukanya, mengatas namakan kenalan suami saya hanya untuk datang kemari. Mau saya antar ke pintu keluar? Siapa tahu Anda lupa di mana tempatnya," kataku sambil tersenyum lebar.

Rahangnya semakin mengeras. Tanda dia sedang sangat menahan kesal. Dia masih berusaha menutupi semua itu demi menjaga image wanita anggun di depan Yoongi tentu saja.

Aku yang sekarang, bukanlah gadis kecil yang selalu ketakutan ketika melihatnya seperti dulu. Karenanya, tidak ada alasan bagiku untuk mengalihkan pandanganku darinya sekarang ini. Dia dan aku sama-sama manusia bukan?

Part Of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang