13

104 17 2
                                    

Bumi tempatku berpijak rasanya tidak bisa kurasakan kini. Aku melayang. Bukan ragaku, melainkan jiwaku. Aku memandang kosong wanita yang berdiri di depanku dengan senyuman di bibirnya itu.

"Boleh aku duduk?" tanya wanita itu dengan sopan.

"Silahkan. Kalau Lim ahjumma sudah memperbolehkan Anda masuk ke rumah, aku tidak punya alasan tidak mempersilahkan Anda duduk," jawabku sebiasa mungkin.

Aku melirik ke arah ahjumma yang berdiri tidak jauh dariku. Memberinya isyarat untuk meninggalkan kami berdua.

Gerakannya perlahan namun yakin, menandakan betapa  percaya dirinya  dia. Matanya menatapku dengan hangat, meski aku tidak merasakannya. Entah angin apa yang membawa wanita ini datang ke rumah.

Ahjumma sendiri sudah bertanya pada Yoongi apa memperbolehkan wanita ini masuk atau tidak. Seperti yang kubilang tadi, aku tidak bisa menolak kehadirannya yang sudah dipersilahkan oleh pemilik rumah.

"Aku kemari ingin meminta maaf. Aku sama sekali tidak tahu kalau kau punya alergi. Seharusnya aku mencari tahu terlebih dahulu. Aku benar-benar minta maaf," ucapnya dengan sorot mata sendu.

"Aku yang merasa tidak enak, sudah membuat makan siang kalian terganggu. Maaf malah membuat keributan," jawabku sebiasa mungkin. Walau sebenarnya, aku sedang mengepalkan keras tanganku dibalik baju yang kupakai.

"Sekarang bagaimana kondisimu? Sudah baik-baik saja?" tanyanya dengan wajah khawatir.

"Seperti yang Anda lihat," jawabku dengan senyum dipaksakan. Aku ingin dia sendiri yang menilai bagaimana keadaanku kini.

"Syukurlah Anda sudah membaik," katanya lega.

Aku ingin tertawa saat mendengarnya. Sebenarnya masih ada bekas alergi berupa bintik merah di leherku. Meski tinggal sedikit, namun masih cukup terlihat jelas. Tapi sepertinya dia tidak menyadari itu.

Selalu begitu. Di memang tidak terlalu peduli pada hal lain, yang terpenting kenyamanan dirinya sendiri.

Entah permintaan maaf itu untuk apa. Cara dia melepaskan diri dari rasa tidak enak karena kejadian itu? Basa basi saja denganku? Entahlah. Aku tak tahu. Yang jelas bukan dari hati terdalamnya. Aku yakin itu.

"Hanya ini yang ingin Anda sampaikan? Saya rasa tidak mungkin Anda jauh-jauh kemari hanya untuk menanyakan keadaanku."

Dia tersenyum canggung, menautkan kedua tangannya di atas meja dan sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Ke arahku.

Dia mencoba bersikap dominan dengan aura yang dia miliki. Seakan ingin bilang kalau aku berada di bawah kendalinya.

"Ini tentang kerja sama perusahaan," ucapnya begitu halus.

"Kalau soal itu, lebih baik Anda bicarakan dengan Yoongi-ssi. Aku sama sekali tidak tahu tentang itu."

"Aku tahu. Tapi, seandainya Anda yang mengatakan padanya, mungkin bisa merubah semua."

"Kenapa?" tanyaku sambil menaikkan satu alis.

"Ini adalah kerja sama yang sangat penting untuk kami. Sebagai sesama perempuan, Anda juga pasti tahu bagaimana cara mendukung suami. Kami juga masih punya tanggung jawab sebagai orang tua. Aku ingin anakku tidak merasakan kesusahan sampai dia dewasa nantinya."

Wah ... Indah sekali rasa kekeluargaan mereka. Hingga membuatku ingin muntah.

"Apa aku harus peduli pada keluarga kalian?" tanyaku dingin. Wanita itu tersentak dengan nada bicara dan sorot mataku.

"Kenapa aku harus melakukannya? Tidak ada alasan bagiku untuk mengubah keputusan Yoongi-ssi terhadap perusahaannya."

"Dia pasti mendengarkan istrinya. Aku mohon, demi putraku. Aku minta bantuanmu."

Part Of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang