2

145 20 5
                                    

"Akh!!" teriakku panik begitu melihat ke arah jam di layar komputer.

Tanganku otomatis menjambak rambutku sendiri dengan kuat agar aku benar-benar segera tersadar. Keteledoranku. Atau ini karena tubuhku yang sudah protes, meminta istirahat sebentar.

Benar-benar sebentar. Hanya lima menit. Seingatku.

Tapi nyatanya dua jam berlalu begitu saja, karena ...  Aku tertidur. Waktuku yang berharga.

Tidak bisa begini. Baiklah, aku akan membayar semua yang hilang secepatnya. Lalu aku kembali menghadap laptop dan mulai pekerjaanku yang sempat terhenti.

Ini semua demi mendapatkan uang 50 juta dollar dalam waktu satu bulan yang sangat tidak mungkin itu. Meski mustahil, tapi aku punya seribu cara untuk bertahan. Kalau perlu akan aku jual ginjal dan hatiku agar bisa hidup bebas dari jerat perjanjian gila itu.

"Ok. Tinggal sedikit lagi," kataku setelah tiga jam berlalu.

Krruukkkk...

Perutku berbunyi nyaring. Alarm alam yang menyadarkanku kalau sudah dua hari tidak mendapart asupan berupa makanan.

Hebat bukan, aku bisa bertahan hanya dengan air putih dan udara yang kuhirup selama beberapa hari. Tapi sepertinya kali ini harus benar-benar makan bila aku tidak ingin mati mengenaskan karena kelaparan.

Aku menyeret kakiku menuju ke dapur yang sangat minimalis itu walau malas. Aku mencoba mencari apa pun yang sekiranya bisa kumakan. Membuka semua lemari dan lemari pendingin dengan sedikit brutal karena semakin sering perutku bernyanyi.

"Hah ...," ucapku lemas saat tak berhasil menemukan makanan. Bahkan ramen atau kimchi pun tak ada. Kalau sudah begini aku jadi merindukan nenek.

Wanita berambut putih yang terkadang cerewet padaku itu, tak pernah membiarkan kulkas atau tempat penyimpanan kosong. Selalu diisi sebelum habis. Selalu menyiapkan masakan sebelum kuminta. Hah ... Haelmoni ... Aku rindu. Rindu masakanmu lebih tepatnya.

Mataku beralih menatap ke arah jendela yang sedikit tak tertutup tirai. Sepertinya cuaca di luar sedang bagus. Tak ada salahnya mencari vitamin D walau sudah setengah sore.

"Silau," keluhku saat sinar matahari tepat mengenai wajahku begitu keluar rumah.

Aku bersenandung kecil sembari melangkah ke supermarket dekat rumah. Sampai di sana, tanganku mengambil apa saja yang kubutuhkan dengan cepat dan segera membayarnya.

Satu kantong berukuran lumayan besar kini sudah berada di tanganku. Kurasa cukup untuk persediaan selama seminggu.

Aku sedang berjalan pelan sambil menikmati es cream cokelat kesukaanku saat bayangan orang-orang yang berada di belakang tertangkap pandanganku.

"Sial," runtukku begitu saja.

Aku sebenarnya tahu ada orang-orang berjas hitam yang selalu berkeliaran di sekitar rumahku selama beberapa hari ini. Dugaanku, mereka adalah orang suruhan Presdir Choi untuk mengawasiku. Mungkin takut aku kabur begitu saja.

Padahal fokusku sekarang adalah mencari uang demi membayar denda sialan itu. Tak peduli caranya, walau harus kembali ke lubang gelap itu sekali lagi pun. Asal bisa menjamin kebebasanku akan kulakukan. Dari pada kabur dan jadi buronan, ini jalan yang kupilih.

Aku berhenti. Menurunkan tudung hodie yang kupakai, lalu berbalik menghadap ke arah mereka yang menatapku bagai serigala lapar.

Dilihat dari proporsi tubuh, aku sudah kalah. Ditambah lagi jumlah mereka yang berempat semakin membuat posisiku tak sulit.

Tapi aku adalah Kwon Ra-On. Yang tak punya alasan untuk takut karena sudah tak memiliki apa pun dalam hidupku.

"Ahjussi, mau sampai kapan kalian seperti itu?" tanyaku mencoba bersikap santai.

Part Of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang