20

81 8 5
                                    

"Suami Anda baik-baik saja, Nyonya," kata dokter yang sedang merawat luka Yoongi.

"Dia menakutkan," ucapnya karena wajahku yang menegang saat melihat jahitan panjang di perutnya itu.

"Wajar saja kalau istri Anda cemas saat melihat suaminya terluka." Yoongi tersenyum tipis mendengar komentar dokter tersebut.

Dia lalu meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Seakan ingin mengatakan kalau semuanya tidak ada yang perlu kukhawatirkan lagi.

"Benar dia tidak apa-apa?" tanyaku lagi. Hanya sekedar ingin memastikan.

"Iya. Mungkin karena tubuh tuan Choi yang kuat, lukanya cepat sembuh. Padahal baru dua hari tapi sudah kering sekarang."

"Dengar? Aku tidak apa-apa. Jadi, jangan berwajah muram terus seperti itu. Aku tidak suka," katanya sambil mengusap pipiku pelan.

"Aku juga tidak suka kau terluka," sahutku. Yoongi hanya mengangguk menjawabnya.

Selama sisa pengobatan, laki-laki ini malah sibuk memandangiku. Dan tiap kali aku mengernyit seakan merasakan nyeri yang dia rasa, Yoongi mencium keningku sebagai penenang. Dia juga tak memperbolehkanku bergeser secenti pun dari sampingnya hingga akhir.

"Masih perih?" tanyaku ketika dokter menutup lukanya dengan plester panjang.

"Sedikit. Tapi aku akan makin sakit kalau wajahmu ditekuk begitu terus," bisiknya lembut dan dengan suara kecil. Saking kecilnya, hingga hanya aku yang bisa mendengar.

Sedangkan sang dokter terlihat fokus pada apa yang dia kerjakan ketimbang ingin tahu tentang kami. Kurasa dia berprinsip, untuk selalu segera menyelesaikan pekerjaan apa pun ketimbang mengurusi hal remeh macam kelakuan Yoongi tadi.

Ah, Yoongi memang sengaja memanggil dokter keluarganya untuk datang ke rumah ketimbang dirinya yang harus ke rumah sakit. Bukan karena merasa berkedudukan tinggi, tapi karena dia ingin menghindari berita lain yang mungkin saja tersebar kalau ada yang melihat kedatangannya di rumah sakit.

Laki-laki ini sudah sangat malas berurusan dengan media. Orang-orang yang selalu terlalu bersemangat menambahkan 'bumbu' pada apa yang mereka tuliskan, hingga terkadang melenceng dari kenyataan.

Aku harus berterima kasih pada Yoongi untuk satu hal ini. Dimana dia selalu memberi perlindungan keamanan untuk privasiku. Bahkan sampai sekarang karyawannya tak ada yang tahu bagaimana wajah dari istri presdir mereka. Membuatku masih bisa bergerak bebas sampai saat ini.

"Tidak perlu mengantar kami, Nyonya," ucap sang dokter ketika aku akan bangkit dari dudukku setelah dia merapikan peralatan.

Dengan salam singkat, dokter dan seorang perawat yang datang bersamanya itu pun meninggalkan kediaman keluarga Choi ini.

"Bisa bantu aku memakai baju?" katanya setelah hanya ada kami berdua.

"Kau mau kerja?" tanyaku terkejut.

"Aku harus memeriksa banyak hal. Kau juga tahu itu."

"Ikut," kataku. Kening Yoongi langsung mengkerut dengan sorot mata dingin.

"Tidak boleh," jawabnya tegas.

"Kenapa? Kau juga tahu, aku bisa beberapa hal. Aku tidak terlalu bodoh untuk membantumu."

"Kau hanya memperlambat pekerjaanku. Di rumah. Main dengan Zero," perintahnya tegas.

Aku memajukan bibirku. Kesal dengannya yang sama sekali tak berpikir panjang ketika menjawabku. Seakan diriku benar-benar tak berguna bagi hidupnya.

Meski begitu, aku akhirnya tetap membantu dia memakai kemeja. Tapi tetap dengan bibir yang terus saja menggerutu. Mirip knalpot rusak.

Begitu dia siap berangkat, aku malah masuk ke kamar dan menguncinya rapat. Tidak mau mengantar laki-laki itu sampai mobil, seperti yang biasa kulakukan. Tak peduli bagaimana laki-laki itu akan bereaksi atas sikapku.

Part Of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang