24

45 7 1
                                    

Dengan terpaksa Gina meninggalkanku karena masih ada pekerjaan yang harus dia lakukan. Sedangkan Jaehyun tidak bisa mencegahku pergi karena sedang fokus pada ramainya restoran saat ini.

Sebelum itu, aku sudah lebih dulu meyakinkan mereka berdua kalau aku baik-baik saja, serta tidak perlu bantuan lebih lanjut. Dan tidak akan mati dalam waktu dekat.

Meski masih terlihat khawatir dan tak yakin, Jaehyun dan Gina akhirnya memberiku ruang untuk bernafas sendirian.

Dan walau sudah berhasil berjalan sendiri, mereka tetap memaksa untuk menghubungiku lewat panggilan video selama beberapa saat.

Jadilah aku sebagai bahan ceramah keduanya bergantian. Aku hanya mengangguk tanpa banyak bicara tentang apa saja yang mereka pesankan untukku. Agar lebih cepat selesai saja.

Setelah puas bicara, Gina dan Jaehyun akhirnya mengakhiri sesi bincang-bincang yang sebenarnya tak penting ini.

Begitu panggilan ditutup, segera kumatikan ponsel itu lalu membuangnya begitu saja di salah satu tong sampah yang ada.

Aku sadar tindakanku ini akan berakibat pada serangan panggilan yang menggila dari seseorang. Seseorang yang tak ingin kutemui. Yang bisa berubah jadi monster dan merusak segala hal di depannya bila keinginannya tak tercapai.

Tapi sekali lagi, aku tidak peduli.

Hari ini aku tidak ingin kembali di mana monster itu berada. Benar-benar muak dengan bayangannya saja.

Aku membuat tujuan baru di otakku. Pergi ke rumah lama sepertinya jadi ide yang baik untuk saat ini. Bukan rumah kakek nenek. Melainkan rumah yang pernah kutempati dulu saat ayahku masih hidup.

Tempatnya lumayan jauh dari pusat kota, dan memerlukan waktu lumayan lama untuk sampai di sana. Tapi kali ini aku tak ingin mengeluh akan hal itu. Karena semakin lama, semakin aku bisa berpikir untuk mengurai isi hatiku sendiri.

Begitu menaiki bus yang membawaku ke sana, kepalaku bersandar pada jendela yang ada dengan tatapan kosong ke arah jalanan yang kulalui selama kurang lebih tiga jam lamanya.

Setelahnya, aku masih harus berjalan sekitar dua puluh menit dari halte tempatku turun dari bus tadi. Sembari menikmati rasa perih dari luka yang ada di kakiku karena aku memilih melepas sepatu yang kukenakan.

Kebiasaan jelekku sedari dulu ketika banyak pikiran adalah berjalan tanpa memakai alas kaki. Hanya agar bisa merasakan sakit, sebagai tanda kalau aku masih hidup.

Aku menghela nafas berat saat melihat kondisi rumah kecil yang dulunya begitu terawat menjadi seperti kebun yang tak terawat dengan ilalang setinggi denganku dan pohon besar yang menjulang di sebelah pagar.

Mirip rumah hantu sekarang.

Dengan susah payah, aku mencoba untuk menyeberangi hutan kecil yang mengelilingi rumah ini. Dan saat sampai di depan pintu, aku menarik beberapa tumbuhan liar yang menghalangi sebuah kotak kecil yang cukup tersembunyi di balik pot bunga kesayangan ayah.

Tempat kunci rumah ini berada.

Terdengar bunyi decitan saat aku membuka pelan pintunya yang sudah lama tidak terbuka. Udara pengap dan debu jelas menyambut kedatanganku kali ini.

Ditemani sinar bulan purnama yang berhasil masuk bersamaku lewat sela jendela dan pintu yang terbuka, aku mencoba mengingat denah rumah sembari meraba dinding dan sekitar untuk menemukan sumber penerangan yang mungkin bisa kutemui.

Beruntung, ada sebuah lampu kecil yang masih menyimpan daya dari baterainya. Dengan ditemani si kecil ini, aku duduk di lantai kayu yang terasa dingin sekarang ini sambil memeluk lututku.

Part Of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang