8

87 14 11
                                    

Aku memainkan sendok yang ada di tanganku sambil menatap seseorang yang jadi pusat perhatianku sepagi ini. Seorang gadis yang tak kuduga akan berani muncul di rumahku sebagai seorang pembantu.

"Dia, orang baru? Aku belum pernah melihatnya," tanyaku pada Lim ahjumma. Pura-pura tidak mengetahui siapa gadis itu. Padahal aku juga tidak bisa mengingat semua pembantu yang ada di rumah ini, karena saking banyaknya.

"Benar, Nyonya. Dia baru diperkerjakan hari ini. Meski masih muda, dia sudah punya banyak pengalaman."

"Ahjumma tahu dari mana? Dari CV yang dia berikan?"

"Ya. Saya juga sudah memeriksa ulang, dan semuanya sesuai dengan yang dia katakan."

Aku sedikit tersenyum begitu mendengarnya. Dilihat berapa kali pun, dia bukan tipe orang yang berpengalaman untuk pekerjaan kasar. Lihat saja kulitnya yang mulus itu. Kuyakin baru kali ini dia bekerja keras seperti sekarang.

Mengubah CV adalah hal yang mudah baginya. Di dunia digital seperti sekarang, itu sama saja seperti membalik kertas. Kupastikan dia tahu sedikit banyak bagaimana cara manipulasi sebuah data dari kakaknya.

"Siapa namamu?" tanyaku padanya dengan senyum manis.

"Yuri, Nyonya," jawabnya penuh sopan.

"Yuri-ssi. Bisa bawakan buah ke kamarku? Terima kasih."

Dia tak menjawab banyak, lalu segera melakukan apa yang kukatakan. Rasanya aku sudah gatal buat berteriak di depan wajahnya untuk menanyakan alasan dia ke mari. Tapi aku harus bisa tahu di mana kami berada.

Dan satu-satunya tempat yang bisa kukendalikan di rumah ini adalah kamar. Maka saat dia masuk ke daerahku, kusambut  dia dengan sangat ramah, sambil menunjukkan senyum 'manisku' tentu saja.

"Bagaimana aku harus memanggilmu? Hai, adik Buddy. Begitu kah?"

Wajah Yuri tak bisa menyembunyikan terkejutnya. Matanya membesar dan dia mundur beberapa langkah. Jelas itu sifat bertahan. Dia takut kalau ada orang yang tahu siapa dia sebenarnya.

"Tenanglah, CCTV  di kamar ini sudah kubereskan," ucapku. Yuri pun langsung menurunkan bahunya. Setegang itu dia rupanya.

"Jadi ... Ini yang kau maksud dengan segera bertemu?"

"Aku tidak punya jalan lain selain ini. Suamimu memblock semuanya."

"Baguslah kalau kau tahu."

"Hanya itu yang kau katakan?"

"Memangnya apa? Kau yang punya pertanyaan sekarang kan?"

Dia menggertakkan giginya. Raut wajahnya menahan kesal sekarang. Mungkin karena sikap dinginku.

Atau, dia ini tidak berharap aku menangis meraung-raung karena kakaknya kan? Kalau iya, sayang sekali dia harus kecewa.

"Siapa mereka? Siapa yang sudah membunuh kakakku?" tanyanya. Aku mengangkat bahu.

"Aku juga tidak tahu."

"Kau tidak ingin mencari tahu?"

"Kau bisa lihat sendiri di mana aku sekarang ini. Penjara jiwa. Semua tindak tandukku dalam pengawasannya. Bagaimana caraku mencari tahu coba?"

"Aku tidak bodoh, Bee. Kau adalah lebah yang paling pandai mencari madu. Kau pasti tahu bagaimana caranya menyelinap keluar dari sini."

"Aku tidak punya keuntungan untuk melakukannya."

"Benarkah? Bagaimana kalau, semua orang akan tahu siapa sebenarnya kau?" tantangnya dengan angkuh.

"Silahkan," kataku santai sambil menusuk buah melon yang ada di piring, lalu menikmatinya.

Part Of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang