1

313 25 8
                                    


Aku menatap kosong laki-laki paruh baya berjas hitam rapi yang duduk dihadapanku ini. Bahkan penjelasannya yang begitu panjang, hanya lima persennya saja yang bersedia tinggal dalam otakku. Sisanya hanya numpang lewat.

Aku sedikit mengerti pada situasi ini, kalau lahan pertanian milik kakek sekarang sudah menjadi milik orang lain. Tersisa satu-satunya rumah peninggalan mereka saja.

Aku masih terdiam saat berusaha membaca kertas yang dia sodorkan padaku. Mencoba mencerna kalimat demi kalimat yang berderet di sana. Walau isi kertas itu memojokkan posisiku sebagai ahli waris, tapi rasanya aku terlalu lelah untuk mengeluarkan emosi lagi.

Sangat melelahkan hingga aku tak berminat berdebat terlalu banyak. Hanbok hitam yang kukenakan seharian saja belum kutanggalkan, tapi kini aku sudah harus bersiap melepas lahan yang seumur hidup jadi tempatku tinggal. Gila.

Semua ini terasa begitu mendadak sampai otakku rasanya berhenti bekerja. Kematian kakek nenek yang serasa petir di siang bolong. Lalu masalah lahan yang juga terasa terburu-buru.

Apa mereka orang-orang bebal yang tak tahu hari berduka? Tidak lihat aku sudah seperti gembel sekarang? Apa tidak bisa menunggu satu atau dua hari lagi? Membahas masalah lahan di rumah duka, apa jadi cara terbaru untu menekan mental seseorang saat ini?

"Lalu ... Apa yang akan terjadi sekarang?" tanyaku sambil menggulung kertas yang masih di tanganku.

"Seperti yang sudah tertera di perjanjian, kakek Anda telah menjual tanah itu ke Presdir Choi.  Dan ada beberapa syarat yang harus disepakati oleh Anda berdua."

"Syarat?"

"Benar. Anda harus bersedia tinggal bersama Presdir Choi."

"Kakekku yang menjual tanahnya. Itu artinya...."

"Ya. Kakek anda yang minta agar anda berdua tinggal bersama."

Wah ... Bahkan ketika sudah meninggal saja, kakek masih mempermainkanku begini. Lucu sekali. Jadi ingin tertawa keras.

Namun sekarang, aku hanya bisa menghela napas panjang dan berat sambil memandang foto kakek dan nenek yang berada di altar pemakaman. Apa mau kalian sebenarnya?

"Kalau aku menolak?" tanyaku.

"Anda, Kwon Ra-On harus membayar denda. Sebesar 50 juta."

"Won?"

"Tidak. Dollar."

Aku melongo.

Jelas saja aku terkejut. Bagaimana ini bisa terjadi di hari paling tenang? Apa yang dipikirkan kakek dan nenek memangnya sampai bisa memutuskan untuk melakukan hal diluar akal pada cucu mereka satu-satunya ini?

"Sebenarnya ini bukan denda dari Presdir Choi, tapi dari kakek Anda sendiri. Kami sama sekali tidak punya masalah akan hal itu."

"Gula darahku turun tapi tekanan darahku rasanya naik sekarang ini," kataku sambil memijat pelipisku yang terasa berdenyut.

"Apa tidak ada batas waktu?" tanyaku tiba-tiba.

"Hanya satu bulan. Bila Anda ingin membayar denda tersebut sebagai pemutusan perjanjian."

Satu bulan? Hmm ... Itu waktu yang sangat pendek untuk bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Bahkan kalau aku berniat menjual organku sekali pun, tidak akan cukup.

"Saat perjanjian jual beli ini terjadi, apa kalian memasukkan sesuatu ke minuman atau makanan kakekku?"

"Tentu saja  tidak. Beliau sendiri yang mendatangi kami dengan kontrak perjanjian itu. Dan menuliskan syaratnya."

"Ah ... Uang hasil penjualan. Aku bisa membayar dengan itu kan? Aku tahu harga tanah milik kakek lebih dari denda tadi."

"Sayangnya tidak bisa. Uang itu memang sudah masuk ke rekening anda, tapi hanya bisa diambil saat anda berumur tiga puluh tahun."

Sial, dua tahun lagi berarti.

Ini bukankah artinya kakek menjualku pada si Presdir Choi? Sebagai imbalan karena sudah membeli lahan miliknya dengan harga tinggi? Begitukah?

Karena menurutku, saat ini aku tidak dapat apa-apa dan kakek juga tidak berhutang padanya. Lalu apa artinya? One plus one begitu? Dia dapat tanah dan dapat aku.

"Tinggal di rumahnya? Sebagai pembantunya? Benalu di sana?"

"Tidak."

"Lalu? Jadi sopir? Aku tidak bisa menyetir."

"Bukan."

"Ha?"

"Nona Kwon Ra-On akan tinggal bersama Presdir Choi sebagai istrinya."

"APA?‼" teriakku tak sadar hingga si pengacara ini sedikit memundurkan tubuhnya.

Mataku melotot karena terkejut. Bagaimana bisa aku menikah dengan orang yang tidak pernah kutemui? Tidak tahu bentuknya seperti apa, dan tiba-tiba harus jadi istrinya? Belum lagi ... Kakek  benar-benar membuatku tidak punya pilihan.

Aku juga tak mau hidup dalam lilitan utang yang tak pernah bisa kubayangkan itu. Tapi seandainya bisa menghindarinya, maka hanya ada satu cara bukan?

"Oke." Laki-laki itu tersenyum lega begitu mendengar ucapanku.

"Baiklah kalau begitu. Saya akan meminta orang merapikan barang Anda dan membawanya ke rumah Presdir. Dan mempersiapkan pernikahan kalian."

"Aku tidak bilang mau. Aku hanya bilang 'oke'", kataku dengan wajah polos tak berdosa.

"Maksud ... Anda?" tanyanya tergagap.

"Anda bilang aku masih punya waktu satu bulan bukan?"

"Nona ..." Sepertinya dia menyadari perubahan dariku sekarang.

"Sampai jumpa satu bulan lagi kalau begitu."

Aku lalu meninggalkan pengacara itu begitu saja. Meninggalkan pria yang hanya bisa terdiam dengan wajah memucat. Mungkin dia sedang membayangkan harus menghadapi kemarahan dari si Presdir. Laki-laki tua bangka yang banyak maunya itu.

Sedangkan aku sedang menggigit kukuku hingga berdarah. Kebiasaan buruk setiap kali perasaanku sedang kacau.

Sekarang ... Apa yang akan kau lakukan Kwon Ra On? Berdoa saja ada meteor jatuh, dinosaurus muncul lagi dan semuanya hilang.

 Apa yang akan kau lakukan Kwon Ra On? Berdoa saja ada meteor jatuh, dinosaurus muncul lagi dan semuanya hilang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Part Of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang