12

107 16 9
                                    

Bukan langit-langit kamar yang biasa kulihat saat pertama kali kubuka mata, melainkan botol infus yang tergantung di tiang yang ada di sampingku, serta bau alcohol khas rumah sakit yang menyambutku.

"Anda sudah sadar? Apa yang Anda rasakan sekarang? Pusing? Sesak nafas?" tanya seorang perawat yang datang memeriksa.

"Tidak ada. Tinggal rasa panas di tanganku," jawabku dengan suara agak serak.

Perawat itu memeriksa sekali lagi kondisiku. Dia lalu mengganti oksigen yang kupakai dengan yang lebih rendah tekanannya setelah yakin tubuhku membaik. Terakhir, dia mengecek bagian tangan yang kukeluhkan tadi.

Namun dia berhenti sejenak. Pandangannya berubah. Mungkin dia baru menyadari adanya bekas luka ikatan dipergelanganku. Bekas karena kejadian waktu itu.

Perawat ini tiba-tiba menarik tirai yang jadi panghalang tiap tempat tidur yang ada di IGD hingga menutupi tempatku dari orang lain yang berada di luar. Dia dengan wajah sangat seriusnya menatapku kini.

"Maaf kan saya yang tidak segera menyadarinya. Kami lebih mengutamakan kondisi darurat pada pasien saat datang tadi. Jadi sedikit tak awas pada luka sekunder yang ada. Apa ... Suami Anda yang melakukan ini?" tanyanya dengan suara lirih sambil memegang pergelanganku lembut. Mungkin takut aku merasakan sakit.

"Tidak. Beberapa hari yang lalu terjadi hal yang mengerikan padaku, dan mereka yang melakukannya," jawabku sambil menggeleng keras.

"Sungguh? Kami punya nomor telefon yang bisa menangani masalah seperti ini. Apa dia mengancam Anda bila mengadukannya ke orang lain?"

Aku tersenyum kecil. Lalu menepuk punggung tangan si perawat. Mencoba menenangkan dia dan membuatnya percaya pada apa yang kukatakan.

"Sungguh. Suamiku tidak melakukannya. Dia bahkan tak pernah meninggikan suaranya padaku. Seandainya hari itu tidak ada dia, mungkin aku akan ke mari sebagai mayat."

"Baiklah kalau begitu. Tapi bila ada apa-apa, Anda bisa meminta bantuan kami."

"Terima kasih. Saya sangat menghargai perhatian Anda," ucapku tulus.

"Saya permisi kalau begitu. Silahkan panggil kami bila ada yang Anda keluhkan," pamit sang perawat.

Tepat ketika dia membuka tirai itu tersingkap, sudah ada Yoongi yang berdiri di sana. Perawat itu memandang sekilas padanya. Menilai apakah yang kukatakan benar atau dia.

Melihat dia yang berlalu dengan bahu turun, bisa kuperkirakan kalau si perawat tak lagi meragukan ucapanku.

"Kenapa dia terlihat tidak suka padaku?" tanya Yoongi sambil duduk di sebelahku.

"Tidak ada kewajiban untuk semua orang agar menyukaimu tuan Choi."

"Termasuk kau," ucapnya dingin.

"Apa?"

"Kau tidak menyukaiku kan."

"Kenapa berpikir begitu?"

"Karena kau berniat mati perlahan disebelahku hari ini," katanya tajam.

Aku terdiam sejenak. Menundukkan kepala seakan sedang berdoa sambil memainkan jemariku sendiri.

"Kau tahu aku punya alergi rupanya," kataku pelan. Masih kuingat wajah khawatir dan marah Yoongi tadi. Aku tak menyalahkan dia kalau sekarang dia akan mengamuk padaku.

"Kalau kau mengenalku, pastinya sadar tak mungkin latar belakang dari orang yang bersanding denganku luput dari pengawasan. Apa kau tahu resiko alergimu?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Syok anafilaktik. Lalu kemungkinan mati."

"Aku tidak akan bertanya kenapa kau bisa senekat itu padahal bisa saja menolaknya. "

Part Of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang