4

94 21 6
                                    

"Berikan," kataku padanya setelah seminggu pernikahan tak masuk akal kami.

"Apa?" balasnya datar.

"Ponselku. Kembalikan.

"Kau tidak butuh itu," jawabnya santai tanpa memandangku. Dia malah sibuk membaca koran paginya yang terlihat lebih menarik dari pada aku.

"Kau gila?! Apa ada orang yang tidak butuh ponsel di zaman sekarang?" kataku setengah berteriak. Hal yang sebenarnya tak perlu dan membuang tenaga karena berhadapan dengan batu macam dia.

"Memangnya ada yang mau kau hubungi? Kau kan tak punya teman," balasnya menohok. Tidak salah juga sih, tapi jangan dikatakan semudah itu dong.

"Karena ponsel adalah temanku," kilahku.

"Akan kubelikan model yang terbaru."

"Tidak mau. Aku hanya mau ponselku. Kemarikan!" teriakku kesal sambil menghentakkan kaki ke lantai beberapa kali. Layaknya anak kecil yang sedang merajuk karena tidak dibelikan mainan.

Choi Yoongi masih bergeming. Dia benar-benar tidak menggubris kehadiranku. Seakan aku hanya angin berisik yang mencoba mengganggu rutinitas paginya yang damai.

Laki-laki itu dengan enteng melewatiku dan mengambil jas miliknya, dan langsung berangkat ke kantor tanpa mengatakan apa pun lagi.

"Nyonya, Anda bisa gunakan komputer yang ada di ruang kerja kalau memang sangat membutuhkan internet," kata Lim ahjumma, kepala pelayan di rumah ini.

Tidak perlu diberitahu pun aku sudah tahu kalau ada komputer di sana. Sebenarnya bukan hanya itu yang kubutuhkan. Ada hal lainnya.

Mau pakai internet disini? Sama saja aku menggali kuburanku sendiri. Tingkat ketahuan oleh si pemilik rumah sangat besar.

"Baiklah kalau dia tidak mau memberikannya," gumamku.

Aku berbalik menuju kamar. Mengambil tas dan memasukkan barangku yang tidak seberapa ini. Dengan penuh keyakinan aku berniat keluar dari rumah hari ini. Cukup sudah semua hal gila yang terjadi.

"Nyonya, Anda mau ke mana?" tanya penjaga yang menghadang begitu melihatku menenteng tas besar.

"Kenapa? Ini rumah atau penjara memangnya? Ini tidak boleh itu tidak boleh. Aku manusia bukan patung."

"Tapi tuan bilang, nyonya harus tetap berada di rumah sampai ada perintah selanjutnya."

"Sudah seminggu aku berdiam di rumah tanpa melakukan apa pun dan kalian masih melarangku? Jangan harap."

Aku bergerak satu langkah, dan langsung serombongan preman datang mendekat ke arahku. Menghalangi pintu rumah dengan tubuh besar mereka tentu saja.

Entah benar mereka ini preman atau bukan, yang jelas badan mereka besar dan dengan perawakan menakutkan di mataku. Tapi aku tak mau menyerah dengan mudah. Biar mereka tahu kalau aku bukan wanita lemah.

"Minggir," kataku.

"Maaf nyonya. Anda harus tetap di rumah." Mereka tidak akan mundur sepertinya. Aku menghela nafas panjang dan menghembuskannya keras mendengar itu.

"Kalian sepertinya ingin aku gila kan? Baiklah. Terima kegilaanku kalau begitu."

Aku melempar tas yang kubawa ke pria yang ada di depanku. Terserah itu cukup atau tidak untuk membuat dia kelimpungan, yang jelas aku ingin dia sadar kalau aku, Kwon Ra-On akan keluar hidup-hidup dari rumah ini. Dengan atau tanpa izin dari si datar Choi Yoongi.

Sebelum mereka mendekat, tanganku lebih cepat mengambil satu patung kecil yang bisa kuraih dan melemparkannya sekuat tenaga ke dinding hingga pecah berkeping. Sebuah peringatan. Sengaja. Karena aku juga tak mau melukai mereka yang dapat membuat posisiku sulit nantinya.

Part Of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang