CHAPTER 4

6K 644 74
                                    

Apa-apaan reaksinya itu? Kenapa reaksinya sama dengan kakak dan ayah?

Aku menyipitkan mataku. "Apa menurut anda, saya sebegitu tidak pantasnya menjadi pendeta Kuil Besar Dewa Kasih Sayang?"

Julian mengangguk. "Iya."

Sialan.

"Tapi tidak ada aturan kalau pengguna Sihir Kegelapan tidak diperbolehkan menjadi pendeta." ujar Julian. "Setahuku pengguna Sihir Kegelapan hanya ada sepuluh persen disana. Masih bisa dihitung dengan jari."

"Hooo ..."

"Dan tentu saja sebelum masuk, kau harus melakukan test. Tapi aku tidak tahu seperti apa testnya." tambah Julian. "Itu untuk menunjukkan seberapa seriusnya para peserta. Menjadi pendeta tidaklah main-main. Kau tidak boleh terlibat dalam masalah politik kerajaan atau menjadi pendeta hanya untuk tujuan tertentu yang membawa hal buruk."

"Saya mengerti." Aku mengangguk. "Anda tahu banyak, ya."

"Karena aku sebulan sekali selalu kesana untuk berdoa dan mengawasi kegiatan disana." Julian menatapku dalam. "Memangnya apa alasanmu untuk masuk ke tempat itu?"

Aku tersenyum lembut sambil memegang dadaku. "Karena saya ingin menjadi seseorang yang penuh belas kasih."

" ... " Julian memasang tampang tidak yakin.

"Hei, saya seburuk itu, ya?"

"Iya."

Aku mendengus. "Anda terlalu jujur." Aku terdiam untuk beberapa saat, lalu membuka mulutku lagi. "Saya ingin berubah menjadi seseorang yang lebih baik. Selama ini saya melakukan banyak dosa."

Bukan diriku yang sekarang, tapi di masa lalu. Aku ingin melakukan banyak penebusan dosa atas hal-hal yang tak seharusnya dilakukan di masa lalu. Seharusnya hal ini bisa mengubah masa depan. Aku ingin kehidupanku yang ketiga ini berjalan lancar.

Julian mendengarkanku, lalu berkata, "Sebenarnya untuk bertobat kau tidak perlu menjadi seorang pendeta. Cukup tidak berbuat keburukan dan membantu sesama sudah termasuk bertobat." Julian memandang langit malam. Semilir angin meniup rambut kami. "Dan menjadi dirimu sendiri."

" ... "

Aku merenungkan kata-katanya. Memang seperti yang diharapkan dari seorang Putra Mahkota yang diberkati cahaya, kata-katanya cukup membuatku tergugah. Aku curiga, jangan-jangan dia akan tumbuh menjadi seorang pria yang bijak yang melebihi bijaknya Pendeta Agung Renaissance.

"Dan kau mau berbicara denganku seperti ini saja sudah termasuk perubahan dalam dirimu."

Aku melirik lelaki berambut pirang ini. Julian memang berkata dengan suara lirih yang hampir menyerupai bisikan. Tetapi aku masih bisa mendengarnya. Terselip nada sendu dalam kalimatnya.

"Itu ..." Aku mengalihkan wajahku. " ... saya minta maaf."

Julian menoleh.

"Saya memang sengaja menjauhi anda untuk beberapa alasan, tapi maafkan saya. Saya tidak bisa mengatakan alasannya." Aku berdeham malu. "Tapi suatu hari nanti, saya akan jujur."

Tiba-tiba Julian memegang pergelangan tanganku dan menarikku mendekat. Sontak aku mengangkat kepalaku dan menatapnya terkejut. Jarak wajah kami hanya beberapa senti. "Kalau begitu, kau tidak akan menjauhiku lagi, 'kan?"

Aku mengerjap. Apa-apaan tatapan penuh harap di depanku ini? Aku bisa lihat binar pada sepasang mata biru itu yang menantikan jawabanku. Tanpa sadar aku tersenyum geli. "Tentu saja."

Julian terperangah. Dia menunduk dan menggigit bibirnya. "Jadi, kita bisa memulai semuanya dari awal lagi?"

Kenapa kami seperti sepasang mantan kekasih yang ingin berpacaran lagi?

[BOOK 1] The Villain Wants To Repent (BL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang