CHAPTER 2

7.1K 694 10
                                    

“Kau bertanya darimana Yang Mulia Putra Mahkota mengetahui informasi tentangmu? Tentu saja aku yang memberitahunya.”

Mendengar jawaban ayah yang begitu tak berdosa, aku hanya bisa menampar wajahku.

Setelah Bayler memberitahuku mengenai hadiah-hadiah dari Julian, aku tidak segera mendatangi hadiah-hadiah itu, melainkan menuju ruang kerja ayah dan langsung masuk begitu saja. Melihat tingkahku yang tidak beretika, ayah hanya bisa menghela napas muram dan bergumam, ‘Bagaimana nanti kau bisa masuk ke kuil Dewa Kasih Sayang kalau perilakumu masih seperti ini?

“Aku tahu, tapi kenapa?!” Aku protes.

Ayah membalas, “Duduk dan tenanglah.”

Di sebelah ayah, Bayler menuangkan dua gelas teh hangat untuk kami.

Akhirnya aku duduk, tapi aku masih kesal.

Ayah beranjak dari kursinya dan berjalan menghampiriku, kemudian duduk di depanku. “Dengar, apa kau tahu apa yang terjadi denganmu?” Ayah memulai pembicaraan.

Aku menggeleng. Di kehidupan pertamaku, aku tidak pernah mengalami hal seperti ini.

“Tiba-tiba kau mengalami demam tinggi selama seminggu, lalu tidak sadarkan diri selama sebulan.” Ayah mengungkapkan kejadian sebenarnya tanpa merasa curiga. Wajar jika aku memang tidak tahu. “Kebetulan Yang Mulia Putra Mahkota mengirim surat kepadaku, mengundang keluarga kita untuk acara makan malam. Tetapi aku menolak karena aku masih ingin menjagamu. Itulah mengapa Yang Mulia Putra Mahkota akhirnya tahu kondisimu.”

“ ... “

“Setiap hari dia selalu mengirim surat, bertanya mengenai kondisimu yang semakin memburuk. Dia hampir saja datang berkunjung supaya bisa melihatmu langsung dengan kedua mata kepalanya sendiri, tetapi aku menolak siapapun untuk datang, kecuali dokter kerajaan yang terpercaya.”

“ ... “

“Lalu saat kau bangun, tiba-tiba kau bilang kau ingin bertobat dan belajar menjadi pendeta di kuil Dewa Kasih Sayang. Kupikir kau masih sakit, jadi pergilah istirahat sekarang.”

“Ayah, kenapa kau masih saja tidak percaya?” Aku mengerang kesal.

“Tentu saja. Astaga, Erios. Apakah kau tahu apa yang sedang kau bicarakan?” Ayah memijat keningnya. “Kita terlahir dengan Sihir Kegelapan di tubuh kita dan kau ingin menjadi Pendeta di Kuil Kasih Sayang yang isinya penuh dengan Sihir Cahaya? Kau ini bodoh atau bagaimana? Tidak akan ada gunanya. Melakukan kebodohan pun tetap ada batasnya. Yang ada, kekuatan kalian akan bentrok dan menyebabkan hal-hal yang tidak ingin kupikirkan pada tubuhmu.”

“Oh, ayolah ayah, aku tidak akan berbuat macam-macam. Aku hanya ingin menjadi orang baik dan penuh belas kasih kepada masyarakat. Memangnya salah jika aku bertobat?” Aku masih berusaha membujuk ayah.

“Jika kau memang ingin bertobat, Raven bisa mengantarmu ke kuil besar Dewa Kasih Sayang seperti yang kau inginkan dan meminta panduan pertobatan kepada Pendeta Agung Rennaisance. Tidak perlu menjadi pendeta.”

“Ayah—“

“Kalau kau ingin menjadi orang baik dan berguna untuk masyarakat, menjadi diri sendiri dan membantu mereka saja sudah cukup. Kau tahu kita ini berbeda dari generasi sebelumnya, ‘kan?”

Aku ingin berteriak saja rasanya. Ayah tidak tahu beban batin yang kurasakan atas dosa-dosa yang kulakukan di masa lalu! Itulah mengapa sekarang aku ingin bertobat, sekalian menjadi pendeta sambil menyelidiki siapa dalang di balik pembunuhan ayah dan kakak!

“Ayah, kau tidak mengerti ...”

“Tidak, aku mengerti. Kembalilah ke kamarmu, beristirahat sambil membuka hadiah-hadiah dari Yang Mulia Putra Mahkota.”

[BOOK 1] The Villain Wants To Repent (BL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang