CHAPTER 36

2.1K 173 42
                                    

Perasaan apa yang kurasakan sekarang?

Rasanya ... aku seperti pernah mengalami ini.

Samar-samar aku melihat bayangan seorang pria yang tersenyum kepadaku. Tapi siapa? Itu bukan Julian ...

"Tuan, silakan jagung bakarnya sudah jadi." Sang penjual menginterupsi kami dan memberikan dua buah jagung bakar, membuyarkan lamunanku. Aku cepat-cepat memalingkan wajahku yang terasa panas.

Ketika sang penjual menyodorkan dua buah jagung bakarnya ke arah kami, aku dan Alessandro dibuat bingung. "Maaf, tapi dia hanya memesan satu. Saya disini cuma menemani." ujarku sambil menunjuk Alessandro.

Si penjual tertawa keras. "Ah, ini bonus dariku karena pembicaraan kalian manis sekali. Maaf, tolong jangan marah dulu. Aku tidak bermaksud menguping. Tapi kalian berdua memang cocok. Aku senang melihatnya. Ambillah." Si penjual semakin menyodorkan jagung bakarnya agar kami menerimanya. Senyumnya begitu ramah dan tulus.

Aku menerima salah satu jagungnya. "Baiklah, terima kasih—"

"Benarkah kami cocok?" potong Alessandro yang bertanya pada si penjual dengan serius.

"Benar, anak muda. Apakah muka ini terlihat sedang bercanda?" Si penjual menepuk-nepuk bahu Alessandro yang terlihat seperti sedang memberi semangat. "Berusaha keraslah! Aku yakin kau pasti bisa!"

Aku mengerutkan kening. Apanya yang pasti bisa?

Akhirnya kami pun pergi ke alun-alun menyusul teman-teman kami. Sambil memakan jagung bakar, sesekali aku melirik Alessandro yang baru kali ini aku mendengar dia bersenandung pelan. He? Apakah suasana hatinya membaik karena mendapat jagung bakar gratis?

Tak perlu waktu lama, kami pun sampai di alun-alun.

Beberapa orang sedang sibuk menyusun kursi untuk para penonton. Panggung kecil yang mungkin hanya bisa muat untuk dua sampai tiga orang sudah berdiri di ujung sana. Beberapa gerombolan perempuan berdiri persis di depan panggung. Sepertinya mereka para penggemar si pemain biola yang katanya tampan itu. Aku mengitari pandangan ke sekelilingku, mencari teman-teman—oh. Mereka ada disana. Aku bisa melihat punggung mereka.

Begitu aku sampai di belakang mereka bertiga, aku menepuk bahu Rhea.

Rhea menoleh ke arah kami. "Kalian sudah kembali?" tanyanya. "Bagaimana kencan kalian? Berhasil?"

"Siapa yang berkencan? Sudah kubilang aku hanya menemaninya!" tukasku. "Tidak ada suatu keanehan yang terjadi disini, 'kan?" Aku dan Alessandro memilih duduk di belakang mereka.

Rhea mengacungkan ibu jarinya. "Sangat tenang. Tidak ada yang aneh. Sebentar lagi akan dimulai."

Benar saja. Tiba-tiba keseluruhan penerangan yang ada di alun-alun dimatikan. Seluruh penonton telah duduk di bangku masing-masing, kecuali para penggemar.

Dari sisi panggung, seorang pemuda berambut hijau muda keluar dan melangkahkan kakinya ke tengah panggung sambil disorot lampu, seolah mengatakan bahwa dia lah bintangnya malam ini. Jas hitamnya tampak rapih meskipun aku tidak yakin apakah bahan kainnya mahal dan berkualitas. Namun rakyat jelata tidak akan mungkin bisa membedakannya. Bibirnya yang tipis tersenyum anggun. Rambutnya yang panjang diikat secara elegan seperti seorang maestro. Tangannya memegang biola dengan lembut.

Aku akui, dia memang tampan.

Tapi kalau dibandingkan dengan Julian, jelas kalah.

Gerald menoleh ke belakang, tepat ke arahku dan berbisik, "Namanya Ash Jeremiah."

Oh, jadi namanya Ash? Aku mengangguk mengerti dan menantikan permainan biolanya. Ah tapi sialan, para gadis di depan berisik sekali menyerukan nama Ash.

[BOOK 1] The Villain Wants To Repent (BL)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang