43. Aku Boleh Marah?

8.4K 654 54
                                    

Kemarin, Rony dan Angga sudah berdiskusi dengan vendor. Mereka sepakat memberikan keringanan pembayaran selama seminggu.

Anggap, masalah dengan vendor sedikit berkurang.

Harusnya sedikit lega ya, ini engga. Malah ketambahan ruwetnya kampus yang ternyata ingkar janji tak mau membantu dana untuk acara UJMFEST kemarin.

Sepeserpun. Parah parah parah.

"Alright. I got your point. Gini loh, saya bilang mau membantu acara dies natalis. Nah, dies natalis sendiri sudah tercukupi. Yasudah, kampus nggak ada tanggung jawab buat membantu kalian," ujar Pak Boy, si wakil rektor 1.

Lawak nih Pak Boy. Padahal yang cari sponsornya anak BEM. Dosen-dosen mana ngikut. Nyuruh doang iya. Haha.

"UJMFEST juga bagian dari puncak acara dies natalis kampus kalo Bapak lupa. Lalu untuk dana dies natalis, kami yang menutupnya menggunakan dana yang diperoleh BEM sendiri. Bukan dari bapak ibu dosen. Jika Bapak ingin memisahkan acara UJMFEST dan DIES NATALIS, maka kami anggap dana kemarin kami pinjamkan untuk kampus."

Pak Boy mengangkat kedua bahunya dalam menanggapi ucapan Rony. "Silakan discuss it pada dosen yang bertanggung jawab acara kemarin."

Salma mengepalkan tangannya. Emang ya, jangan percaya pada siapapun, even itu WR1 yang digadang-gadang akan mengisi posisi rektor baru. Percayalah hanya pada Allah yang Esa.

Takbirrrrrrrrr!

Rony, Salma, dan Angga kembali dengan tangan kosong.

"Ngomong gimana emang Pak Boy?" tanya Novia ketika Salma baru saja duduk di antara dia dan Paul.

Salma menerima uluran mineral dari Novia.

"Auk maless. Gua baru tahu dia senyebelin itu njirrrr," ujar Salma sembari membuka tutup botol dan menegak isinya.

Novia berdecak karena tak diberi kejelasan. Akhirnya dia menoleh ke arah Rony yang sedang mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya.

Bentar salfok dulu. Ini udah batang ke berapa? Sejak pagi perasaan nih cowok rokok melulu?

"Nyebat mulu kau, kek orang patah hati aja," ujar Novia.

Paul tiba-tiba tertawa. "Hooh. Dia lagi patah hati. Mana PMS lagi. Marah-marah mulu. Dabel killl meeeeen."

Sumpah Paul bercanda. Dia kaga tahu apa-apa. Dia sebenernya menyindir dirinya sendiri yang patah hati karena Nabila dikode kaga paham-paham.

Eh ucapannya malah ditanggapi serius oleh presmanya itu. Dia memberikan kata mutiara dulu sebelum akhirnya pergi dari sana dengan ekspresi seram.

"Kek cewek aja lu, ngambekan," gerutu Paul.

Novia berdecak lalu melempar botol minum Salma ke arah Paul. "Heh, yang ngambekan bukan cewek aja. Buktinya sobat kau itu juga ngambekan."

Novia tiba-tiba bangkit. "Kaga jelas semua orang-orang di sini. Dah ah, kantin aja ngisi perut," katanya lalu berlalu begitu saja.

Tinggallah Salma dan Paul di ruangan itu.

"Dia ada masalah apa sih?" tanya Paul sembari menatap pintu yang baru saja ditutup.

Salma mengedikkan bahunya.

"Lu ama Rony ada masalah apa? Kek ada jarak banget sekarang. Untung kalian profesional, kalo nggak udah gua tegur dari kemaren."

Salma mengedikkan bahunya berusaha acuh tak acuh agar rautnya tak dibaca apa pun oleh Paul si maha peka.

"Mak!" panggil Paul sambil menyenggol bahu Salma.

Wanita itu berdecak. "Apa sih, Ul!"

"Lu ngapa? Gua liat-liat lu ga semangat idup."

Kalo Suka Bilang! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang