2. Mereka menghilang

52 23 22
                                    

"Laila?" ulang pembawa acara itu sampai membuat gadis berlesung Pipit menoleh.

"Iya? Oh untuk tulisan itu pengalaman pribadi." Laila mengatakannya sambil menunduk.

"Berarti nama teman-teman itu asli? Bukan karangan? Jadi bagaimana respon mereka saat tau kau terkenal?"

Napasnya terasa sesak. Laila mengulang dalam hati kata teman untuk menyadarkan dimana mereka sekarang? Di tidak seterkenal itu kalau masih bersama mereka. Mereka yang dikatakan teman itu satu per satu pergi meninggalkannya, mereka akrab karena sering bertemu namun saat semua orang menghujaninya dengan tatapan takut seolah mereka juga ketakutan akan di berikan tatapan yang sama.

"Entahlah," jawabnya pelan dengan pandangan kosong.

"Mereka pasti seneng banget, apalagi yang kau ceritakan di blogmu di awal paragraf mereka terdengar seperti orang-orang yang menyenangkan.

Laila tanpa ekspresi mengatakan. "Iya mereka menyenangkan."

***

Hari itu aku lupa bagaimana kronologisnya. Aku menghajar teman sekelas hingga masuk rumah sakit. Entah kenapa semua kata yang mereka ucapkan kini jadi menyakitkan dibanding pukulan tempo hari.

Mataku tak lagi melebar seperti dulu kini redup seperti ingin tertidur, aku hanya memandang kosong ruang BK yang menjadi ruang andalanku.

Mungkin aku terlihat alay, tapi hari itu adalah hari pertamaku memukul orang lain, aku selalu menghindari hal-hal yang menyangkut orang tua akan dipanggil, karena jika itu terjadi aku akan mempermalukan kehormatan keluarga Aderson.

Ada banyak ketakutan dalam diriku, tapi Allah membuat ku selalu tenang saat menyebut namanya. Aku yakin aku bisa melewatinya dengan mudah, dunia ini adalah tempat yang tak abadi, mungkin besok atau sekarang dunia akan kiamat dan beberapa orang yang melihat kejadian itu tidak akan memperbesar masalah.
Aku selalu mengingat semua skenario itu dalam otakku agar tidak was-was lagi.

Aku memang bukan ahli Al-Qur'an dan bukan juga ahli solat. Aku hanya hamba-hamba yang lalai dan kembali ke pada Allah apabila dirudung masalah. Maka dari itu jika Allah memperlancar semua masalahku aku akan berterima kasih yang sedalam-dalamnya, dan kalau tidak aku akan tetap bersyukur dan mengambil hikmah dari semua yang telah terjadi.

Setelah lama bersujud sambil menangis tanpa sadar aku tertidur sampai matahari mulai menampakkan diri di sela-sela jendela kamar.

Hari ke dua setelah kejadian, aku hendak untuk solat subuh tapi aku malah kena datang bulan. Hari-hari sial pun mulai mengikutiku. Seperti saat mandi, air kran tiba-tiba mati hingga aku harus turun ke lantai dua untuk melanjutkan mandi yang tertunda. Sesampainya di lampu merah pun, tiba-tiba ada kecelakaan, karena aku bagian depan, aku sempat menolong dan membantu membawanya ke dalam ambulans, dan tidak memikirkan kendaraanku yang masih tertinggal disana, aku sampai balik untuk mengambilnya, hitung saja berapa jaraknya pulang balik hingga aku bisa terlambat datang ke sekolah.

Aku melewatkan jam pertama dan jam kedua di hukum untuk membersihkan toilet karena terlambat, dan jam ketiga aku harus ke ruang BK untuk kedua kalinya untuk di minta pertanggung jawaban sebagai alasan orang tua tidak hadir. Setengah jam disana untuk memberikan alasan dan final jalan terakhir aku dibebaskan dengan syarat membayar ganti rugi rumah sakit dan meminta maaf kepada orang tua teman sekelasku.

Guru BK sebenarnya ingin memberikanku skors, tapi berhubungan aku kelas tiga dan sebentar lagi akan ujian nasional, rencana itu di skip. Beberapa teman sekelasku juga memberikan pernyataan mengenai kelakuanku yang baik sebagai nilai plus untuk keringanan hukuman, padahal aku tidak mengenal mereka.

Dari sehari yang melelahkan itu, aku hanya mengurung diri di kamar bersama tangisan sambil terus berzikir meminta ampun kepada Allah.

Sangat menyebalkan untuk dikenang, sangat sulit untuk dijadikan pelajaran. Berhubung aku pelupa, semua itu sirna begitu saja saat mataku terpejam. Dalam mimpi, aku menyadari beberapa hal, yaitu tatapan yang dulu dekat padaku kini berubah asing, meski mulut mereka bungkam tapi mata mereka berbicara, sangat risih sampai aku terus mengalihkan pandangan karena merasa rendah diri.

Beda cerita kalau sudah bercabang dari kelas per kelas dan gosip yang sebenarnya lurus kini berkelok-kelok. Aku juga tidak perlu menceritakan kebenaran pada mereka satu per satu, karena jika percaya mereka akan menerima jika tidak maka sebaliknya. Satu masalah yang tertutup kini meluas dan menjadi viral, aku benar-benar kehilangan segalanya, dari kepercayaan, maupun harga diri.

Aku tidak benar-benar sendirian, masih ada orang lain yang masih mau dekat denganku, aku tidak tahu itu beneran real atau hanya sedang mencari tahu kesalahanku lagi dan akan dijadikan bahan omongan lagi. Aku tidak banyak berharap, aku hanya mengikuti alur dan berbicara seadanya. Karena sering mengandalkan fisik hatiku gampang rapuh jika tidak melayangkan tinju. Aku tidak pandai merangkai kata-kata kasar karena aku sering mendengar kata-kata baik. Hal itu menjadi alasan hati mungilku tersakiti, kata yang jarang aku dengar merusak batinku. Jika mendengar sebait atau kalimat yang menyakitkan, nada suaraku menjadi bergetar dan bicaraku jadi cepat seperti akan dipotong.

Tidur siangku menjadi terganggu, aku seperti tidak bisa istirahat barang semenit saja setelah bermimpi. Aku beranjak dari kasur dan menuju dapur, mengambil gelas dan menuangkan air minum di sana. Satu tegukan mengisi kerongkonganku yang kering. Setelah ludes habis mataku tak sengaja melihat pantulan diriku di cermin yang ada di ruang tengah. Terlihat menyedihkan dengan kantong mata hitam disana, tidak lupa badan ceking yang dibaluti seragam sekolah yang belum kuganti dan baru kusadari aku seorang diri dengan penampilan berantakan. Tidak ada yang menertawakan, tidak ada yang mengigatkan bahwa seragam itu besok akan gunakan lagi, tidak ada karena benar-benar sunyi. Aku seorang diri, karena penghuni yang lain tidak bersamaku disana. Tidak ada yang menemaniku saat-saat aku terpuruk, aku hanya bisa mengatasinya sendiri, menangis sendiri, merenungi kesalahanku sendiri.

Namun Allah tak membuatku meratapi kesedihan itu berlarut-larut. Ponsel yang ada di saku rokku berbunyi, pandanganku jadi teralihkan, aku mengambil benda pipih itu dan disana terlihat notif live pengguna tok-tok. Aku membukanya asal dengan pandangan kosong, karena hal sepele itu pikiranku mulai diambil alih. Mulutku tanpa lengkungan kini berubah menjadi senyuman. Aku menarik kursi meja makan sambil membuka tudung saji, tanpa beralih dari ponselku. Aku menikmati tontonan itu sambil makan dengan lahap. Napsu makanku kian meningkat pesat setelah diet masalah, aku tahu masalah ku tidak akan hilang sekejap jika aku menonton live itu tapi aku yakin aku bisa memperbaiki moodku terlebih dahulu sebelum kembali ke sekolah besok dengan masalah yang sama.

Aku tahu, Allah hanya ingin menjeda masalah ku.

***

Kitabat Laylaa / RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang