5. Manfaat

59 31 163
                                    

"Waw, memang paling berkesan sih itu. Karena seorang penulis itu barang berharganya adalah tangan jika tangannya lecet sedikit saja maka dia tidak bisa menulis dengan sempurna, tapi Aku penasaran apa yang membuat Laila masih bisa bertahan padahal tangannya sudah mati rasa?"

Gadis itu pertama kali terkekeh. "Namanya juga hobi kalau udah suka ya gak pentingnya lagi udah mati rasa apa gak."

Pembawa acara masih dengan mulut mengangga melihat wajah manis Laila.

"Ada apa?" tanya Laila bingung.

Wanita itu menggeleng. "Aku suka jawabanmu, oke pertanyaan kedua dari netijen, nih. Apa yang Laila lakukan biar gak suntuk dengan hobi menulis?" ujarnya kembali melihat layar monitor yang sedang live.

Laila memandang kosong tanpa sengaja kebiasaan membunyikan jarinya dia lakukan saat berpikir.

"Dulu sih suntuk banget kalau begadang nulis, hasilnya jadi gampang ngantuk. Dulu juga sering banyak membaca hasilnya muak kalau cuman liat buku. Intinya kerjain dulu yang ada di depan mata, kalau ngantuk ya tidur Jangan di paksain, malam kan kodratnya untuk istirahat, trus kalau banyak membaca kan bukan kebutuhan sehari-hari, membaca digunakan saat waktu luang, yang penting nulis dalam keadaan yang menurut aku gak ada paksaan dan dalam keadaan tenang, yang benar-benar dari mau aku banget."

"Waw komentar dipenuhi dengan jawaban 'true' dari mereka, makasi banget resepnya Laila!" Wanita itu senang bukan main apalagi live yang view-nya hanya 1000 kini menjadi 5000.

Laila tidak tahu kapan terakhir kali dia bisa merasa bermanfaat untuk orang lain.

***

"Udahlah guys, jangan lama-lama berantem! Kita udah temenan dari kelas 1 masa karena masalah itu kalian mau musuhan!" Rina sampai mengajakku, Seli dan Meisya untuk berkumpul di gedung olahraga agar saling baikan.

"Kau gak salah ngomong, Rin?!" tanyaku tidak percaya, dia mungkin bisa berbicara sesantai itu kalau tidak mengalaminya langsung.

"Lagian juga aku udah denger cerita dari Seli, kau Lai yang ngerebut Luis. Padahal mereka statusnya pacaran."

Aku menutup mulutku saking syoknya. "Kalian tahu sendiri kalau Seli gak punya pacar! Gimana bisa Seli ngaku pacaran sama Luis setelah ngerebut karya orang lain!?"

Gadis yang disebut Seli langsung beranjak dari duduk dan mendorongku sampai terjatuh kelantai. "Heh! Aku dan Luis udah lama pacaran diam-diam! Dan soal karyamu harusnya kau tau diri! Kau gak mungkin bisa nulis sebagus kayak gitu kalau gak diajarin sama Luis!"

Aku bangkit dan langsung menarik rambutnya. "Itu karena sudah ketentuan lomba! Kau sendiri yang nyuruh aku belajar sama mentor! kenapa malah jadi anj*ing gini! Didepan kau kayak malaikat tapi dibelakang kayak setan!"

Seli berusaha melepaskan tanganku dan terus berteriak kesakitan. Rina dan Meisya menarik kami satu sama lain. Berusaha untuk melerai.
"Kalian kenapa sih! Please jangan jadi kayak anak SD!" teriak Rina yang memiliki rambut pendek diantara kami.

"Terserah kalian mau dukung siapa! Yang penting aku gak mau berurusan lagi dengan dia!" Seli menangis dan pergi meninggalkan kami.

Kami bertiga saling pandang. "Maafin Seli ya, Lai. Seli sampai ambil karyamu karena pengen buat orang tua dia bangga, kau kan tau sendiri dia sampai jadi ketua OSIS karena terpaksa." Meisya berbicara pelan agar aku tidak tersinggung. Gadis berbody goals itu tidak akan mendukung Seli jika mereka bukan tetangga. Dia tahu betul bagaimana cara mereka tumbuh di lingkungan yang sama, jadi suka dan duka harus mereka lewati bersama. Sampai dia keluar dari gedung olahraga untuk menyusul Seli.

Aku merasa harus memaklumi kelakuan Seli. Harus mengikuti perkataan Meisya dan mengalah untuk berbaikan demi Rina. Air mataku jadi perlahan jatuh.

Aku mengingat semua yang dilakukan Seli padaku, dia yang selalu melepaskan ku dari hukuman terlambat. Dia yang selalu berbicara pada guru BK agar aku tidak diberikan hukuman berat, dan dia juga yang mau meloloskanku dari Do karena telah memukulnya dengan kursi. Apa disini aku benar-benar tidak tahu diri? Apa disini hanya aku yang boleh diam saja dan tidak boleh membela? Rasanya tidak ada keadilan lagi.

Setelah kejadian di gedung olahraga. Hariku perlahan berubah drastis. Anggota OSIS terang-terangan tidak menyukaiku. Apalagi mereka tahu aku dan Seli tidak dekat lagi. Saat terlambat masuk sekolah, mereka menghukumku paling berat dari siswa lain, aku disuruh lari lapangan sampai 50 kali. Aku sampai pingsan dan berakhir UKS. Tidak sampai di sana, tidak ada yang merawatku dan memberikan air ataupun obat. Tidak ada juga yang membangunkanku setelah bel pulang berbunyi.

Saat aku pulang sendirian ada sekelompok orang menyeretku masuk ke dalam toilet, menghajarku dan memukulku pakai pel lantai. Hidung dan mulutku berdarah, betisku membiru. Saat kesadaranku hampir habis mereka menginjak tanganku sampai aku sadar kembali.

Air mataku sampai tidak bisa keluar lagi. Aku hanya berteriak meminta ampun. Mereka meninggalkanku begitu saja tanpa ada rasa kasihan dan bersalah. Aku sempat pingsan lagi dan terbangun saat sudah sore. Dengan sekuat tenaga aku bangun dan menyeret paksa kakiku yang terasa sakit.

Saat melewati gang untuk pulang aku bertemu dengan Hary. Dia seperti menunggu seseorang tapi saat melihatku wajahnya jadi sumringah seakan-akan aku lah yang ditunggunya.

"Aku pikir, aku tidak akan bertemu denganmu lagi setelah kejadian tukang penjaga pantai mengatakan kau sudah pulang dan membangunkanku."

Mulutku keluh, tidak mampu untuk membalas ucapannya.

"Kau kenapa? Apa kau habis di bully?" lirihnya.

Lagi-lagi aku tidak menjawab. Dia menahan pergelangan tanganku dan menarikku ke pos kamling. Disana dia menyuruhku duduk. Dia mengeluarkan kotak P3k. Dia bahkan sampai membawa benda itu karena tahu dia sering dipukuli.

Dia mengambil Betadine, kapas dan mulai menyentuhkan di bibirku yang mengularkan darah segar. "Yang aku pelajari dari perkelahian hari itu kau bukan tipe orang yang akan membiarkan wajahmu luka, tapi luka sekarang seperti kau sengaja membiarkannya."

Aku memandangnya sambil tersenyum. "Aku juga belajar hari itu padamu, kalau mengalah kau tidak akan berurusan lagi pada orang itu."

Dia tertawa. "Hey! Itu bukan pelajaran. Kalau kau membiarkan dirimu dipukuli mereka akan terus memukulimu!"

"Terserah, aku hanya ingin melihat wajah puasnya karena sudah melakukan ini padaku."

Dia tidak berbicara lagi, Hary hanya memandangku sendu.

"Kenapa? Kayaknya setiap mendung ataupun hujan, kau selalu datang."

Lelaki itu menggaruk belakang telinganya terlihat malu. "Karena saat matahari muncul wajahmu jadi bersinar, aku tidak akan sanggup memandangmu."

Aku memutarkan bola mataku malas. "Apa kau sedang mengombalku? Maaf aku tidak minat."

"Dihh, dasar cewe mati rasa! Orang lain mah kalau aku bilang gitu udah kelepek-kelepek," ucapannya terlihat bangga.

"Tapi bagiku itu haram desu!"

Aku tahu pertemuan kami tidak hanya sekadar sebuah kebetulan.

***

Kitabat Laylaa / RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang