Kendaraan mereka berhenti di sebuah perusahaan Penerbit Alaska. Laila bergegas turun dari mobil bersama Rina.
"Jadi dimana tempatnya?" Gadis dengan pakaian jas pink itu menujuk ke arah atas.
Laila sempat mendongak, kemudian Rina kembali menarik tangannya untuk segera masuk ke dalam perusahaan itu.
Di lantai bawah mereka disambut oleh bagian admin setelah itu naik tangga ke lantai dua. Disana beberapa pegawai memiliki meja masing-masing dan diruang tengah tersisa kursi sofa yang berbeda bentuk dibuat agar tamu yang datang memilih untuk menduduki kursi yang nyaman.
"Hai! Rina ya Manager Laila?" sapa seorang laki-laki yang terlihat kemayu. Rina mengangguk membalas kemudian mereka saling cipika-cipiki.
"Itu Laila?" lanjutnya penasaran. Laila membalasnya sambil tersenyum sopan. Laki-laki itu mendekati Laila untuk cipika-cipiki tapi Laila menolak sopan dengan mengangkat kedua tangannya.
"Owh bukan muhrim ya," gumamnya terkekeh.
"Ayo kita bahas kelanjutannya!" Rina mengambil alih suasana yang terasa canggung. Laki-laki itu tertawa dan mulai duduk di ruang tengah bersama keduanya.
"Tadi aku lihat podcast Laila, loh! Banyak banget komentar positif dan yang dukung Laila! Bahkan banyak yang buat vidio Laila ditok-tok! Di twit juga ramai bahas tentang dia, yang katanya baru pertama kali lihat penulis udah naik daun tapi masih tetap merendah!"
Manager yang bername tag Rendy itu bercerita heboh sampai membuat respon Rina terus tertawa dan bertepuk tangan senang dengan keberhasilan Laila. Sedangkan si empu yang dibicarakan hanya terdiam mematung."Laila kok gak keliatan senang?" tanya Rendy dengan gaya bahasa yang terdengar centil.
"Itu covernya doang! Aslinya mah dia seneng banget sampai gak bisa nunjukin ekspresi!" Rina sampai gemaas dengan Laila dan tanpa sadar mencubit pipi gadis itu.
"Poker face! Keren kamu Laila! Gak bisa ditebak! Ayo ikut aku masuk keruang meeting!" Rendy beranjak berdiri dan menuntun keduanya masuk kelorong Kanan yang disana ada pintu kaca.
Saat masuk mereka sudah di sambut empat orang, terdiri dua laki-laki dan dua perempuan. Masing-masing memegang naskah. Mereka berdiri menyambut Laila dan Rina.
"Perkenalkan mereka adalah visual lokal yang akan memerankan tokoh yang ada di cerita kamu," ujar Rendy menjelaskan, Laila melihat satu per satu wajah mereka yang terlihat bukan artis.
"Halo kak, saya Gusti yang berperan jadi Matahari," kata seorang laki-laki berwajah garang tapi nada suaranya terdengar lembut, Laila mengangguk kaku kemudian laki-laki itu kembali duduk.
"Kalau saya Binar yang akan menjadi tokoh utama Bulan." Laila terkesima melihat penampilan gadis itu, dia benar-benar terlihat brandalan seperti waktu SMAnya dulu.
"Saya Sato. Yang akan jadi Fajar." Jantung Laila kembali berdetak. Dari wajah sampai senyumnya saja sangat persis, dia bahkan sudah melupakan wajah laki-laki brengsek itu tapi malah dipertemukan kembali dengan versi little.
"Aku Maryam yang akan jadi Senja." Mata Laila jadi memanas, kalau saja Rina tidak menyuruhnya duduk pasti air mata yang tergenang itu akan jatuh dengan sendirinya.
Laila sampai mengakui kehebatan penerbit itu, dia bahkan bisa mencari visual lokal yang ciri-ciri sikap maupun penampilan yang mirip dengan yang ada ditulisanya.
Ruang persegi itu terlihat besar dan mejanya berbentuk bulat, Laila bisa saja bergerak bebas tapi entah kenapa dia hampir kehabisan napas hanya karena bertemu orang-orang yang sama dengan masa lalunya.
"Jadi bagaimana Laila? Apa mereka cocok? Kalau kau setuju kita bisa ketahap selanjutnya."
Laila hanya mengangguk saja mendengar Rendy bicara, dia tidak tahu kenapa sifat pendiamnya mendadak muncul hari itu.
Rina yang melihat kelakuan Laila pun harus berusaha improvisasi. "Ah Laila pasti capek banget habis hadiri podcast, pastinya Laila suka banget sama visual lokal yang pak Rendy siapkan, jadi bagaimana tahap selanjutnya?"
Rendy kemudian mengeluarkan dokumen untuk tanda tangan kontak dan membicarakan mengenai akun rp yang akan dibuat oleh masing-masing tokoh.
Sepanjang membahas ide pikiran Laila berkelana. Manusia yang ia tulis selalu abadi dalam tulisannya meskipun mereka sudah lama pergi meninggalkannya.
***
"Akhir-akhir ini kau selalu menonton live, memangnya apa bagusnya?" tanya Hery yang saat itu mengunjungi rumahku waktu libur.
Aku memandangnya yang terlihat fokus bermain game di ponselnya.
"Lah terus kau! Apa bagusnya game? Bikin orang Tremor aja! Gak liat apa di tv? Banyak orang sakit gara-gara main itu! Masih mending aku nonton live ke arah positif!"
Jempol Hery terhenti bergerak kemudian menatapku tidak suka. "Hey, kau terlalu berlebihan! Kali ini pasti kau marah bukan karena aku membahas live itu, kan?"
Aku terkekeh menyadari sikapku. "Maaf, aku hanya kesal dengan live hari ini, mereka mengundang bintang tamu yang terkenal bukan karena bakatnya tapi karena viral saja."
Hary terlihat bingung sambil mengacak rambut gondrongnya yang basah. "Rezeki orang kan beda-beda, kali aja suatu saat kau terkenal karena viral meskipun bakatmu udah ada sejak dulu."
Aku berpikir sejenak. "Yah tetap aja gak fer, masa karena ngomong kasar bisa viral, itu kan gak bisa dijadikan contoh yang baik untuk masyarakat."
"Jadi kau akan diam aja saat diundang ke live? Meskipun kau gak punya bakat apapun? Semua orang juga gak mau terkenal kayak gitu, mereka hanya mengambil kesempatan yang ada di depan mata." Sekarang aku jadi membenarkan ucapannya.
"Udah selesai?" Aku mengangguk pasrah.
"Bentar lagi hujan reda aku harus balik pulang," aku beranjak berdiri saat melihat laki-laki itu mulai mengenakan hodienya.
"Lah kok kebalik? kenapa harus nunggu hujan sih baru nemuin aku?" Dia hanya membalas dengan cengiran.
"Yudah lah pulang sana!" Hery mengacak rambutku dan pergi begitu saja.
Rasanya sakit tapi aku tidak bisa melakukan apapun.
Sampai kabar kematiannya menyiksaku setiap waktu. Kalau andai saja aku tidak mengatakan itu pasti esoknya dia tidak akan membulatkan tekad untuk datang menemuiku saat matahari terik.
Seharusnya cuaca yang cerah akan menjadi hari yang indah untuk semua orang namun siapa sangka seorang Hery yang terlihat normal menganggap itu sebuah ajal kematiannya.
Seperti matahari dan bulan yang terpisah oleh jarak. Bulan yang selalu menanti malam dan matahari yang selalu menanti pagi. Kami yang selalu beriringan tidak bisa bertemu dengan keadaan yang sama.
Dia orang yang selalu yakin aku akan terkenal, dia yang selalu yakin aku akan bahagia suatu saat nanti tapi dia tidak pernah yakin akan selalu bersama.
Jarak kami terlalu jauh, bahkan sekarang bukan hanya beda cuaca tapi sekarang beda alam. Dia yang paling di sayang sama Allah sekarang memiliki tempat tinggal yang sangat nyaman, tanpa membawaku dan hanya pergi menikmati sendirian.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kitabat Laylaa / Revisi
Teen FictionDrama -Religi (kitabat laylaa) كتابات ليلى Tulisan Laila *** "Sabar... Allah tahu kamu mampu." ucap sang ayah jika Laila mengalami masalah. Menjadi penulis adalah bukan pili...