15. Matahari

13 5 17
                                    

Laila tersadar dari bangunnya saat senja mulai menampakkan diri dibalik jendela. Cahaya yang menyilaukan membuat tangan gadis itu refleks terangkat untuk menutupi wajahnya.

"Kau udah sadar? Alhamdulillah."

Laila berbalik ke sumber suara. Disana ada Mate yang tengah selesai menunaikan solat.

Buru-buru dia bangkit dari tidurnya dan segera berdiri. "Kenapa aku bisa ada disini?"

Mate tersenyum tipis, dia melipat sujadahnya dan meletakkan penutup kepalanya yang berwarna hitam di atas meja. "Kau kan tadi pingsan."

"Kenapa gak bawa ke rumah sakit? Kenapa cuman nunggu aku bangun!" Laila terlihat ketakutan dan mundur perlahan mengambil benda apa saja yang ia lihat seperti kanvas kecil yang ada di meja untuk dijadikan alat pertahanan diri.

"Yampun kak penulis, kalau aku bawa kerumah sakit nanti bisa-bisa dokter curiga terus lapor ke pihak yang berwajib, lagian kan kau juga cuman pingsan gak kejang!"

Laila memijit kepalanya yang kembali terasa ngilu. Dia terduduk di sofa sambil terus mengambil napas dalam.

"Aku sudah berdo'a pada Allah tadi biar kau segera sadar dan Alhamdulillah terkabul."

Gadis itu melihat sinis pada si Mate yang terlihat begitu tenang.

"Ya maaf kalau upayaku memberitahu semuanya terlalu cepat, aku hanya tidak ingin membuat kak penulis tertekan dan merasa bersalah." Mate ikut duduk di depannya dan hendak memakai sepatunya.

"Kenapa sih panggil kak penulis? Kau kan kembarannya pasti seumuran! panggil nama aja!" tekannya dengan nada emosi. Mate sempat terkekeh mendengar hal itu. Dia pikir akan sulit membuat gadis itu percaya padanya.

"Ya udah kalau percaya, ayo berangkat." Mate keluar dari rumah di ikuti dengan Laila yang terus mengekor. Hingga mereka sampai dalam mobil.

"Mau anterin aku pulang, kan?" tanya Laila memastikan.

Mate menggigit bibir bawahnya. "Maaf ya kata Koby tadi jangan biarin kau pulang dulu, soalnya wartawan buat tenda di depan rumah sakit."

Laila tahu maksud dari kalimat itu yang berarti wartawan tidak hanya menggali informasi visual lokalnya saja melainkan dirinya juga yang jadi penulis.

"Lah terus sekarang kita mau kemana?"

Mate menyalakan mobilnya dan keluar dari kompleks. "Liat aja nanti pas udah sampai."

Dalam perjalanan mereka tidak saling bicara, Laila sibuk dengan pikirannya sendiri dan kesedihan yang selama ini ia tahan, beda dengan Mate yang diam-diam merasa plong karena sudah tidak menyimpan rahasia itu.

Mobil Mate memelan saat mereka sampai di sebuah rumah yang bertuliskan sanggar seni kaligrafi.

"Temani  aku sebentar ya," ujarnya pelan. Keduanya keluar dari mobil menuju tempat itu. Mate disambut oleh seorang bapak-bapak yang menjadi pemimpin sanggar, dari saling sapa saja mereka terlihat seperti sudah saling kenal. Sedangkan di belakang Laila hanya bisa merenung. Hery yang ia kenal tidak seperti yang ada di hadapannya sekarang. Hery adalah sosok laki-laki yang blak-blakan dan gengsian tidak dengan kembarannya yang sopan dan lemah lembut.

"Ayo Lia!" seru Mate girang.

"Laila! Bukan Lia!" tekan gadis itu garang.

Keduanya masuk dalam pondok sanggar. Disana ada banyak orang yang membuat seni kaligrafi. Mate duduk beralaskan karpet setelah mengambil kertas karton dan tintanya dari lemari.

"Mau ngapain?" Laila yang sedari tadi penasaran akhirnya mengeluarkan suara.

"Mau buat tulisan kaligrafi," ujarnya dan mulai memperbaiki posisi duduknya untuk menunduk menulis satu per satu huruf Hijaiyah.

Laila baru tahu kalau ada tulisan kaligrafi. Selama ini dia hanya membaca Al-Qur'an saja selebihnya dia tidak peduli dan tidak mencari tahu proses untuk membuat tulisan arab itu.

"A-apa Hery mempunyai hoby yang sama denganmu?" tanya Laila hati-hati. Mate beralih sambil menggeleng.

"Aku kurang tahu, aku hanya ingin memenuhi keinginannya yang belum tercapai."

Laila terdiam sejenak. Lalu beralih menatap ke arah jendela, di luar sana hanya ada padang rumput yang rimbun di terbangi angin. Sangat sejuk dan membuat Laila sedikit tenang dan bisa mengambil napas dalam kalau sudah menyangkut dengan Hery.

"Jadi keinginannya ingin menulis kaligrafi?" Mate mengangguk dan beralih menegakan badannya.

"Seperti ini," tunjuknya pada hasil karya tulisannya.

Laila terkesima pada ayat yang bergambar indah.

"Apa bacanya?" Ucapan Laila membuat lengkungan senyum terukir di wajah Mate.

"Namamu lah siapa lagi."

Laila menujuk dirinya.  "Aku pikir aku salah baca. Jadi beneran itu bacanya Laila?" Kagumnya terharu.

"Ini belum jadi, aku akan mewarnainya sekaligus membuatkan bingkai."

Mata Laila berkaca-kaca. Dia kembali mengingat tentang Hery. Waktu itu dia datang saat sedang mengaji. Hery yang notabenenya tidak tahu menahu hanya bertanya apa yang ia baca. Lalu dirinya menjawab adalah Al-Qur'an.

"Aku melihat di kotak barang pribadi miliknya, disana ada buku yang bertuliskan bahwa dia akan membuat tulisan Al-Qur'an yang bernama Laila. Agar kau suka katanya."

Laila menutup mulutnya agar tidak terisak. Betapa Hery laki-laki yang sangat bodoh. Dia bahkan tidak berpikir itu adalah kitab suci pikir Laila.

"Bagaimana kau bisa berbeda denganya? Yang aku tahu dia tidak punya agama dan kau berbanding terbalik."

Mate meletakkan kembali kuasnya. Lalu menatap wajah Laila yang memerah menahan amarah. "Aku yang sekarang adalah keinginan Hery juga. Dia menulis bahwa ingin memasuki duniamu. Yang punya tempat untuk jalan pulang dan menangis meminta do'a pada yang maha kuasa."

"Dunianya adalah hanya berisi tentangmu, tentang Laila yang tidak paham agama tapi terus berusaha kembali solat hanya untuk curhat pada Tuhannya dan Hery yang gengsinya setinggi menara pisah tapi diam-diam melaksanakannya di belakang."

Laila terdiam, pandangannya kosong. Kali ini dia ingin lelaki itu berbicara saja.

"Dulu Aku dan Hery selalu bersama hingga suatu hari aku dilarikan ke luar negeri karena penyakit jantung, selama itu aku bersama Ibu dan ayahku tinggal bersama Hery. Dia juga punya penyakit alergi matahari, semua guru memakluminya tapi para murid malah membullynya. Dia sering jadi bahan ledekan dan membuat dia keluar masuk ruang BK karena sering berkelahi. Ayah marah dan memutuskan untuk pergi ke luar negeri menyusul kami, karena lelah menghadapinya. Dalam kesepian itu dia bertemu denganmu, kau membuatnya merasa sangat beruntung tetap menjali hidup hingga suatu hari dia mengalami kecelakaan. Dia bisa saja hidup tapi dalam keadaan cacat, tapi Hery mengatakan untuk memberikan jantungnya padaku. Agar bisa melihat dunia seperti yang ia lihat, dia ingin membagi setengah kehidupannya kepadaku. Agar aku tidak selamanya di rumah sakit dan menderita."

Laila terisak sambil memegang jantungnya yang terasa sakit, ternyata dia tidak bisa menilai cover Hery saja. Dia yang selama ini kesepian jauh lebih baik daripada hidup Hery yang bergantung padanya. Matahari yang ia kira sebagai pelindungnya ternyata juga membutuhkan bulan untuk menemaninya di alam semesta yang luas.

"Semoga kau tenang disana Hery," batin Laila.

***

Kitabat Laylaa / RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang