28. wedding

15 8 35
                                    

"Kau darimana saja? Bukannya acaranya selesai jam 5 sore?" Rina langsung menghujaninya dengan tatapan kesal saat temannya itu sampai di rumahnya jam 10 malam.

"Oh itu, tadi aku ketemu Zein. Dia mau bantuin aku nulis skenario jadi kami mampir nonton di bioskop." Jelasnya dan mulai duduk di sofa dengan santai.

"Yang benar aja dong! Emang ada bantuin nulis harus nonton segala? Dia itu modus Lai! Ginini karena jarang keluar rumah apa-apa udah di begoin!"

Laila memijit kepalanya yang mulai terasa sakit, suara toa perempuan itu hampir membuat depresinya kambuh.

"Udah malam Rin, gak usah teriak-teriak, kalau anak ku bangun kau yang tanggung jawab, ya?" ancaman Sena mampu membungkam mulutnya.

"Yang di bilang Rina ada benarnya, masa nonton sampai jam 10 malam, gak bahaya ta?" Sena ikut bergabung setelah menidurkan putranya.

"Gimana sih jelasinnya, yang intinya itu nonton sambil belajar. Film itu cocok untuk orang yang mau nulis skenario." Sena dan Rina tidak percaya begitu saja, mereka memicingkan mata penuh curiga.

Laila menyerahkan ponselnya dan memperlihatkan kolom chatnya bersama Zein. Rina merebutnya dan Sena ikut di samping membaca.

"Gak ada yang aneh, kan? Cuman bahas nulis doang. Lagian kalau dia modus mau dekatin aku emang gak boleh? Kalian mau aku jomblo seumur hidup, gitu?" Laila menarik kembali ponselnya.

"Ya bukan gitu juga, kau kan baru rehat dari Hiatus. Semua orang khawatir kau keluyuran gak jelas, ditambah kau dekat dengan orang lain, takutnya dia hanya manfaatin ketenaranmu untuk bahan berita. Apa salahnya negatif thinking." Sena ikut manggut-manggut.

Terdiam sesaat, mereka hanya saling pandangan sampai Laila membuka suara.

"Maaf kalau buat kalian khawatir." Dia langsung memeluk kedua temannya

"Ah alai banget sampe peluk segala, mending tes baju presmedmu!" teriak Rina sambil berusaha melepaskan pelukan erat darinya, sedangkan Sena hanya bisa tertawa.

***

Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Pagi jam 9 mulainya akad dan malamnya lanjut pesta. Laila memilih berdiam diri di ruang tengah setelah lama berfoto dengan pengantin. Dia juga bertemu dengan mantan visual lokal dan beberapa karyawan dari penerbit. Ada yang membuatnya jadi tidak bersemangat yaitu tidak datangnya Mate disana. Laki-laki itu hanya mengirimkan bikisan berupa karya kaligrafi besar seukuran foto yang bisa di pajang di dinding. Entah kenapa dia cemburu, apalagi membandingkan tulisan kaligrafi yang pernah dia buat hanya tertulis namanya saja dengan ukuran persegi empat.

"Kenapa kau terlihat sedih?" tanya Sena Setelah menjauhkan diri dari panggung karena anaknya merajuk tanpa alasan.

Laila tersenyum paksa. Lalu tangannya sibuk menyusun kado-kado pemberian tamu undangan. Sena yang menyadari ada tulisan Mate di kartu ucapan langsung terkekeh pelan.

"Kau sedih karena dia tidak datang, ya? Dari yang aku dengar dari mantan visual lokal dulu, katanya Mate disibukan dengan akting, dia kan sekarang mendapat tawaran menjadi pemain film berkat ikut casting."

Laila sedikit terkejut, wajah setengah bule sja sudah mendukungnya menjadi peran visual lokal apalagi kalau dia bisa berakting. Hatinya jadi memanas membayangkan bagaimana dia mendapatkan naskah Romence, pasti dia akan mengalami cinlok dengan lawan mainnya.

"Kalau kau kembali menulis, kau bisa bertemu dengannya lagi," tambah Sena sambil menepuk pundak Laila dan segera pergi menyusul anaknya.

Laila terdiam, bukanya dia tidak mau menulis tapi keadaannya tidak memungkinkan. Saat bertemu dengan Zein saja tangannya bahkan sampai gemetar dan membuat tasnya jatuh hanya karena mau menulis tentang skenario. Tapi Alhamdulillahnya laki-laki itu memilih jalan yang tepat, dia mengajaknya menonton film. Baiknya itu bermanfaat dan tidak membuatnya mual.

Apakah dia harus mengorbankan kisah cintanya demi menjaga kondisi tubuhnya atau memaksakan diri?

***

Laila ingin sekali lama-lama di kota dengan asumsi bahwa akan bertemu dengan Mate tanpa sengaja disana tapi pekerjaan menuntutnya untuk kembali mengajar. Murid-murid banyak menunggunya dan jasanya sudah dibayar. Mau tak mau dia harus kembali ke desa.

Setelah acara pernikahan selesai, hanya Laila yang pulang, Rina sekarang tinggal di kota bersama Koby. Begitupun dengan Sena yang tinggal di kota untuk menyekolahkan anaknya sebagai ibu tunggal.

Perempuan itu berangkat siang dan sampai saat malam tiba. Di villa yang cukup besar dia tinggal seorang diri. Saat turun dari mobil pemandangan di depannya membuat dia bingung, ada seorang wanita tua seperti sedang menunggunya.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya bersikap sopan santun. Wanita tua itu menoleh dengan kaget saat terduduk di kursi. Dia bangkit berdiri dengan mata berkaca-kaca.

"Laila?" tebaknya. Perempuan itu mengangguk bingung. Sampai tersirat sepenggal pesan yang ia abaikan beberapa hari yang lalu.

"Ini ibu nak," ujarnya dengan mulut bergetar. Tangannya yang keriput memegang kedua pipi Laila yang dingin, sambil tersenyum penuh haru.

Laila sendiri kaget, dia tidak bisa berkata-kata. Mulutnya seperti terkunci, jantungnya terasa akan meledak. Ia ingin marah tapi dia juga sedih. Perasaan campur aduk itu membuat dia dilema.

"Ada apa kemari?" Dengan cepat dia menghempaskan tangan tua itu dari wajahnya.

Wanita itu tersentak sampai air matanya menetes begitu saja saat genangan ful di pelupuk matanya.

"I-ibu rin..."

"Rindu setelah Laila sudah sekarat? Ibu dulu kemana sampai tidak merasa rindu? Kenapa sekarang baru carinya? Apa karena sudah tidak punya tempat tinggal lagi?" ucapnya dengan mata yang menyorot pada koper dan tas yang terletak di depan pintu.

Wanita itu menelan salivanya, dia terlihat tidak bisa berkata-kata.

"Sudah malam, menginap saja malam ini dan besok ibu harus segera angkat kaki dari sini." Setelah mengatakan itu Laila mengangkat koper dan tas ibunya, membawanya ke kamar tamu. Setelah itu kembali keluar untuk menurunkan barang bawaannya dari kota.

Wanita yang disapa ibu itu hanya terdiam memandangi anaknya. Dia beranjak dari pijakannya dan memasuki kamarnya untuk istirahat.

Laila mengamati semua itu dari jauh. Setelah menutup pintu utama dia juga ikut masuk dalam kamarnya dan jatuh terduduk di lantai sambil menangis. Dia sendiri bahkan sudah lupa bagaimana rupa ibunya setelah sekian lama berpisah. Bahkan memorinya tidak terlintas kenangan indah saat bersama. Hanya mengandalkan sorot mata wanita tua itu membuat Laila percaya.

Dia bersandar di belakang pintu sambil memeluk kedua kakinya, rasanya hawa dingin mulai menyelimutinya. Semakin lama dia terisak, Laila tidak mau suaranya sampai terdengar, hal itu membuat dia menangis dalam diam sehingga tangannya berubah kaku. Jantungnya jadi sakit menahan perasaan yang bergejolak itu, napasnya ikut sesak. Dia terbaring di lantai dengan tak berdaya.

"A-yah, kumohon ajak aku pergi," lirihnya.

***

Kitabat Laylaa / RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang