8. Dia yang pergi

41 19 65
                                    

"Maaf ya. Gak ngomong dulu soal visual lokal. Aku gak mau pas tahu mereka mirip, kau jadi nolak. Itu kesempatan emas buat kau Lai."
Bahkan saat sampai di depan rumah sakit, Rina tidak berhenti meminta maaf soal minimnya informasi.

Laila hanya memegang kepalanya yang terasa pusing. "Terserah. Aku mau masuk."

Rina tidak bisa lagi membujuk sahabatnya satu itu, dia hanya pasrah melihat Laila yang perlahan menjauh.

Suara notifikasi di ponsel Laila berbunyi. Dia segera mengeceknya dan disana info sejumlah uang yang baru masuk ke dalam rekeningnya beserta pesan yang dikirim oleh Rina.

Biaya rumah sakit udah aku bayar, sedangkan sisanya pakailah untuk kebutuhanmu.

Langkahnya memelan. Dia bahkan bingung harus bahagia atau tidak dengan keadaanya sekarang.

Dia sampai mengacak rambutnya gerah tapi setelah itu dia hampir terjatuh saat sepatu high heelsnya patah. Untungnya dengan cepat dia memegang tembok untuk bertahan.

Laila mengerang kesal saat melihat itu. Dia membuka sepatu merah maron yang ia kenakan dan berjongkok sambil bersandar. Bahkan dengan kejadian yang ia alami dunia tidak memihaknya.

Sambil menenangkan diri, Laila mencari akun medsos Seli dan Luis untuk sekadar kepo. Ia takut ceritanya akan menyinggung mereka. Apalagi dia sudah terkenal dan wajahnya sudah diliat semua orang termasuk mereka berdua.

Namun hasilnya nihil. Semua akun media sosial mereka menghilang tanpa jejak. Laila sampai menghembuskan napas frustasi.

Suara notif di ponselnya lagi-lagi berbunyi, kali ini bukan dari Rina melainkan dari nomor yang tidak dikenal.

Halo kak, Saya Gusti. Mau mengirimkan beberapa foto yang ada di studio tadi🙏🏻

Laila tidak langsung membalas dia membuka foto satu per satu dan meneliti wajah mereka sampai beralih pada wajah Gusti yang sangat mirip sekali dengan Hery_laki-laki yang hampir ia lupakan.

"Kenapa kau meninggalkanku begitu cepat," lirihnya tanpa sengaja air matanya perlahan jatuh.

Namun kesedihan itu berubah menjadi amarah saat melihat wajah Sato yang mirip dengan wajah Luis.

"Bahkan kebencianku tak pernah luntur saat melihat mu."

***

Setelah kejadian pembuliyan anggota OSIS terhadapku, hubunganku dan Seli jadi sangat renggang. Kami berempat tidak lagi nongkrong bersama. Bahkan untuk bertemu dengan sahabatku yang lain harus sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan oleh Seli.

Aku juga tidak membalas perbuatan mereka dan menjadi lebih tidak peduli terhadap mereka. Aku hanya menjalani hidup sesuai kemauanku yaitu terus menulis dengan versiku sendiri. Tanpa mengikuti lomba yang diadakan OSIS ataupun menyuruh adek kelas membacanya untuk promosi.

Aku hanyalah aku dan tetap menjadi diriku sendiri.

Hingga satu kejadian membuat pertemanan kami sangat pecah dan tidak bisa diperbaiki lagi.

"Kau melihat Meisya, Lai?" tanya Rina karena beberapa hari tidak melihat gadis itu di sekitar Seli.

Aku yang asik di kantin menulis cerita jadi beralih mendengar hal itu.

"Enggak, emang saat di absen namanya gak ada?" tanyaku karena saat itu mereka satu kelas.

"Dari kemarin gak hadir, cuman sekarang hadir tapi saat istirahat dia gak ada!"

Mengetahui hal itu aku dan Rina segera mencarinya keliling sekolah. Bertanya sana sini dan sampai membuat Rina menangis karena tidak menemukannya. Kami juga sudah menelpon keluarganya dan mereka mengatakan kalau gadis itu pergi sekolah. Saat kami sudah kehilangan informasi tentangnya. Aku melihat pintu toilet yang rusak terbuka. Dari dulu toilet itu jarang terpakai, aku menyadari tempat itu belum kami selidiki.

Aku pun mengajak Rina dan benar saja saat sampai disana ada Meisya seorang diri tengah menangis sesenggukan.

"Kau kenapa Mei? Siapa yang membuatmu menangis?" tanya Rina beruntun dia bahkan tak kalah heboh melihat hal itu.

"Kumohon biar kan aku sendiri!" isaknya sambil mendorong Rina dan membuat gadis itu terjatuh.

Aku sampai terkejut melihat Meisya yang lembut menjadi kasar. Dengan hati-hati aku berjongkok di depannya sambil memegang tangannya pelan.

"Tenang Mei, aku ada disini. Jangan takut," lirihku. Dia tidak memberontak sempai aku memeluknya. Perlahan aku menghapus jejak air matanya sambil mengikat rambutnya yang terurai berantakan.

"Ada yang ingin kau sampai, kan? Aku akan menjaga rahasiamu."

Gadis itu menatapku sedih sambil memegang perutnya. "Dia yang buat aku gini, Lai."

Rina langsung berdiri menatap Meisya kaget. "Apa maksudmu!"

Aku menarik tangan Rina kembali duduk di sampingku. "Tenang lah," bisikku.

Meisya kembali menangis bahkan sangat kencang sampai terguncang. Rina dengan tidak peka nya menutup mulutnya. "Jangan mengundang orang lain datang kemari, bodoh!"

Aku hanya bisa mengelus belakang gadis itu dan menyingkirkan tangan Rina dengan kasar.
"Tidak perlu di ceritakan kalau kau berat, Mei."

Gadis itu menatapku dengan air mata yang masih berlinang. "Luis hamilin aku Lai," bisiknya yang hampir tidak terdengar. Aku menutup mulutku saking syoknya.

"B-bagaimana bisa?" kata Rina pelan tak kalah syok denganku.

"D-dia bilang gak mau rusak Seli makanya dia lakuin ini sama aku."

Emosiku rasanya sudah sampai di ubun-ubun. Aku langsung berdiri dan ingin membunuh laki-laki itu hari itu juga. Tapi Meisya menahan tanganku sambil terus menangis.

"Kumohon Lai jangan! Kasian Seli! Aku gak mau dia sedih! Biar aku saja yang tanggung semua ini!"

Aku sampai tidak habis thinking mendengar ucapan Meisya. Dalam keadaan seperti itu dia masih ingin melindungi sosok Seli yang tidak tahu apa-apa tentangnya.

"Kau gila! Minta Luis tanggung jawab! Kenapa masih mikirin perasaan Seli, sih?!" Rina menarik kerak baju Meisya saking kesalnya.

"A-aku yang salah! Aku yang gampang tergoda! Aku gak mau buat Seli tahu karena dia punya penyakit asma, aku takut dia kaget mendengar berita ini!"

"Stop! ngomong soal Seli!" teriakku emosi.

"Gak mungkin kau dekat sama Luis kalau gak ada campur tangan Seli! Kau gak belajar dari kejadian aku dan Luis? Mikir dong!" lanjutku.

Meisya tambah menangis dia bahkan menutup telinganya dan berteriak histeris. Aku bergegas keluar dari toilet dan ingin menghabisi laki-laki itu. Tidak lupa aku mengambil sapu dan mematahkannya hingga menyisakan batangnya.

"Please Lai jangan lakuin itu! Aku bisa gila kalau kau seperti itu!!!" Meisya tidak hentinya meneriakiku dengan suara yang hampir habis.

Rina mengikuti dari belakang berusaha menghentikanku. Aku sampai menepis dan membuat gadis itu terjatuh.

Aku melewati sepanjang koridor dengan kebencian yang begitu besar. Aku benar-benar akan membunuh laki-laki itu di depan Seli.

Hingga sampai di lapangan basket. Aku melihatnya di kumpulan semua murid yang memuji namanya. Mereka menyoraki namanya penuh cinta tanpa memikirkan kelakuan brengseknya di belakang.

Saat situasi itu, aku juga melihat Seli yang mendukung Luis bermain basket, dia sedang berada di kursi penonton begitu gembira tanpa memikirkan Meisya yang begitu menderita. Dengan senyum evil aku mengangkat batang sapu itu dan bersiap menghantam badan Luis. Namun....

Brak!

Suara jatuh dari lantai tiga membuat kami menoleh ke arah gadis yang bersimpah darah dalam keadaan yang mengenaskan.

"Meisya!!!"

***

Kitabat Laylaa / RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang