29. Pertemuan

26 19 50
                                    

"Hah? Kok bisa?!" kaget Rina disebrang telepon setelah Laila menceritakan sakitnya tadi malam.

Hening sesaat, Rina tidak tahu harus merespon apa tentang keluarga temannya. Apalagi dia tahu bagaimana kehidupan Laila saat ditinggal pergi ibunya.

"Lai liat demi kebaikanmu, kalau menurutmu itu baik terima, kalau tidak itu keputusanmu." Ujarnya.

Setelah mematikan telepon Laila memijit kepalanya yang mulai terasa kembali ngilu. Dia hendak mengambil obatnya tapi tangannya terhenti untuk menyadari sesuatu.

"Sembuh tidak hanya dari obat tapi dari diri sendiri," batinnya. Setelah itu memilih pergi keluar untuk menyegarkan diri.

Saat di luar banyak orang di depan villanya. Laila bingung ada acara apa sampai orang-orang berkerumun.

"Eh Laila?" seseorang menghampirinya, perempuan itu bahkan tak kalah kagetnya.

"Kok bisa disini? Ngikutin, ya?" tambah laki-laki itu, membuat Laila terkekeh.

"Aku emang lagi tinggal disini sekarang, kalau Zein gimana?"

Laki-laki yang dipanggil Zein menunjuk kebelakang. Disana ada kru film yang sedang siap-siap untuk syuting.

"Aku sedang ngerjain naskah untuk film itu," ujarnya. Laila ber o paham.

Keduanya duduk di teras untuk melanjutkan pembicaraan.

"Ginini loh Lai, sutradara lagi nyari rumah untuk di sewakan film, dan mereka minta rumahmmu. Berhubung kita berteman, apa boleh nih, kau terima tawarannya?" tanyanya sambil tertawa canggung.

Wanita tua tiba-tiba datang membawa minuman dan langsung menyerahkan di atas meja.

"Makasih bi," ucap Zein begitu saja dan langsung meminumnya. Wanita itu pun langsung menoleh ke arah Laila, begitu pun dengannya yang kaget sendiri.

Setelah mengantar minuman, wanita itu pergi. Laila menyentuh hidungnya sambil berdehem. "Tadi ibuku." Hal itu membuat Zein menyemburkan minumannya.

"Aduh, kau gak papa?" Laila langsung menyodorkan sapu tangan dari saku sambil gelagapan. Zein menerimanya dan membersihkan bajunya yang terkena teh panas.

"Maaf ya Lai. Aku gak tau kalau itu ibumu." Laila hanya bisa tersenyum paksa.

***

Setelah pertemuan singkat itu, perasaan Laila jadi tidak karuan. Dia merasa hal-hal di sekelilingnya jadi tidak berjalan seperti biasanya, seperti kedatangan mendadak ibunya dan kemunculan Zein yang salah paham. Semua itu jadi menumpuk di kepalanya. Berhubung hari itu ada kelas menulis, Laila bergegas pergi ke tempat kerjanya yang tidak jauh dari rumahnya.

Setelah sampai disana, dia bersiap untuk masuk kelas tapi anak-anak yang sekitar umur 10 tahun itu bukannya memberi salam seperti biasa yang ada mereka malah berkerumun di jendela untuk melihat sesuatu.

"Ada apa?" tanyanya pada anak laki-laki yang hendak ingin keluar kelas.

"Bu, ada pameran lukisan. Bagus banget. Aril mau liat dulu." Setelah mengatakan itu anak-anak yang lain mulai mengikutinya keluar kelas.

"Tapi kan sekarang ada kelas...." ucapannya pun hanya angin di lalu di telinga mereka.

"Harusnya aku membuka kelas menulis untuk umur 20 ke atas," gumamnya. Laila jadi memikirkan ucapan Rina tempo lalu kalau pendatang itu akan mengambil alih bisnisnya.

Rasa benci mulia menguak di hatinya, masalah seperti datang mengantri, hal itu membuat dia seperti ingin meledak. Dengan perasaan emosi Laila langsung mendatangi pameran yang berada di samping kelasnya.

"Saya boleh ketemu orang yang mengadakan pameran ini?" tanya Laila berapi-api. Matanya melotot tajam pada pegawai yang sedang menata lukisan itu.

Pegawai laki-laki yang disapa Laila terlihat ketakutan dengan mimik wajahnya, dia mengangguk takut dan masuk ke dalam ruko.

Dengan bertolak pinggang Laila meniup jidatnya berusaha untuk meredakan amarahnya yang meluap-luap. Dia mondar-mandir sambil mengucapkan istighfar. Matanya tanpa sengaja melirik pada satu lukisan persegi empat, di sana terlihat gambar seorang perempuan yang sedang menulis tapi dibaluti dengan ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Hatinya tersentuh, tangannya tergerak menyentuh lukisan itu. Pantas saja anak-anak itu berbondong-bondong ingin melihat, ternyata lukisan itu memang sangat indah.

"Itu namanya lukisan kontemporer, apa anda tertarik?" tanya seorang perempuan setengah bule. Matanya coklat, rambutnya lurus dan panjang senada dengan warna matanya yang cantik.

"Ah, begitu," ucapnya pelan, gambar itu malah mengingatkannya pada seorang laki-laki.

"Jadi ada apa anda mencari ku?" Laila langsung menoleh kaget.

"Ah jadi anda pemiliknya," ucapnya sambil setengah tertawa canggung.

"A-aku hanya berpikir kau membuka kelas ternyata pameran, aku salah sangka. Maaf." Laila hendak pergi tapi tangannya langsung di tahan oleh perempuan itu.

"Kami juga membuka kelas kaligrafi untuk hiasan mushaf, kalau kau tertarik datanglah. Kami membuka kelas malam." Dia memberikan poster kecil di tangannya. Laila tersenyum paksa dan segera pergi.

Sesampainya di kantor, Laila meremas poster itu dan membuangnya asal.

Bunyi telpon berbunyi. Laila mengambil benda pipih itu yang ada di atas meja. Disana ada panggilan dari Sena. Laila mengambil napas panjang padahal dia ingin beristirahat sebentar, tapi karena itu temannya akhirnya dia terpaksa menggeser tombol hijau.

"Ada apa?" tanyanya sambil duduk di sofa.

Lai! Apa kau tau?! Ternyata orang yang membuka bisnis di samping kelas mu itu dia!

Dahi Laila berkerut. Orang yang di maksud 'dia' siapa? Yang terbayang hanya perempuan cantik setengah bule.

Tadi aku ketemu dengannya di rumah Rina sebelum dia berangkat ke sana.

Katanya dia akan membuka kelas kaligrafi dan tidak jadi berkarir sebagai akting.

Hal itu membuat Laila terdiam sejenak. Napasnya seperti berhenti. Ciri-cirinya sudah menjelaskan bahwa itu adalah orang yang selama ini dia cari.

Ternyata orang yang selama ini kita gosipkan adalah dia hahaha, lucu sekali. Bukan kah ini takdir?

Dia sampai datang ke rumah Rina karena tau kau datang ke pestanya. Dia tidak berpikir kau akan datang kesana setelah mengalami trauma itu!

Apa kau tau juga, dia orang yang membawa ibumu, saat bercerita pada Rina! Katanya dia sengaja mencari ibumu agar kau tidak kesepian lagi di rumah.

Jantung Liala berdegup kencang mengetahui hal itu. Dia tidak tahu apakah dia harus berterima kasih atau tidak dengan membawa ibunya padanya.

Saat pertema bertemu, dia masih memanggilku Seli dan aku bilang aku sudah mengganti nama untuk membesarkan anakku. Dia juga bilang nama Sena cocok dengan wajahku hahaha

Suara ketukan pintu terdengar. Perhatian Laila teralih pada pintu yang ada di sampingnya saat Sena masih asik bercerita di telpon. Pintu itu tidak tertutup rapat sampai orang yang mengetuk itu bisa masuk ke dalam ruangannya.

Mata Laila membola melihat orang yang masuk itu. Langkahnya terhenti saat kakinya menabrak bongkahan poster yang Laila remas tadi.

Laki-laki itu menunduk dan mengambilnya, dia membuka poster yang hancur itu sambil melihat Laila yang terdiam kaku.

"Apa kau cemburu pada dia?" tanyanya sambil tersenyum malu. Laila hendak menjelaskan tapi dia lebih kaget dengan sosok Mate yang ada di hadapannya sekarang.

Jujur dia sangat merindukan senyuman itu.

"I-iya," ucapnya tanpa sadar.

***

Kitabat Laylaa / RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang