Hari-hari berlalu. Kini sudah hari ke-enam Arhan tidak memberikan kabar sedikitpun kepada Ersya.
Ersya menjalani kesehariannya dengan kesendirian. Tidak ada kabar apapaun yang di dapatkan oleh Ersya. Selain dirinya yang mencari sendiri bagaimana kabar suaminya itu.
Hanya dengan pantauan sosmed. Setidaknya hati Ersya cukup tenang sesaat melihat kondisi suaminya yang baik-baik saja. Ingin rasanya Ersya menyusul dan memeluknya namun jika dia melakukan itu, mungkin itu adalah hari terakhirnya.
"Mamah, papah. Apa sebegitunya kalian marah kepadaku?" lirih Ersya sesaat memandangi foto kebersamaannya dengan orangtuanya.
Ya mungkin wajar saja orangtua Ersya marah kepadanya. Namun bersukur nya Ersya masih menjadi anggota keluarga mereka.
Cukup lama Ersya sendirian di dalam kamarnya. Sampai sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak dia kenali. Ersya menjawab panggilan tersebut.
Ersya: "Hallo, maaf dengan siapa?"
***: "Kata Via kamu sakit, sakit apa?"
Ersya terdiam sesaat mendengar suara itu. Jika saja pemilik suara itu adalah suaminya. Mungkin saat ini Ersya akan langsung sembuh. Namun, kenyataannya justru yang menelpon adalah atasannya. Dewangga.
Ersya: "Iya, kak. Aku sedang tidak enak badan. Dan tadi aku sudah meminta izin untuk tidak masuk dulu."
Kurang dari 30 menit Ersya berbicara di telpon dengan Dewangga. Dia akhirnya menutup panggilan tersebut. Namun sebelum itu Ersya terdiam sesaat mendengar suara yang cukup familiar di telinganya.
"Arhan." lirih Ersya.
Tanpa sadar lirihannya itu terdengar jelas oleh Dewangga. "Sepertinya kamu fans berat ya? sampai suara yang lirih itu kamu pun dapat mengenalinya." ucap Dewangga dengan sedikit terkekeh.
"Bagaimana aku tidak mengenali suaranya. Dia suamiku." batin Ersya.
Karna tidak mau menimbulkan kecurigaan. Ersya menutup panggilan tersebut. Baru saja Ersya menaruh ponselnya, terlebih dahulu sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya.
"Sya, kita ada di cafe. Lu buruan ke sini!" isi pesan dari sisil yang meminta Ersya untuk menyusul ke cafe.
Rasanya ingin Ersya menolak. Namun jika dia menolak, sama saja dirinya membuka rahasia pernikahannya sendiri.
Ersya bergegas menyusul sahabatnya yang berada di cafe. Dia menghampiri Sisil dan Vina yang tengah menikmati pesanan mereka.
"Ada apa?" tanya Ersya.
Vina menyodorkan makanannya. "Jangan buru-buru dulu, nih mending lu makan dulu Sya."
"Lu paling tau aja kalo gua lagi laper haha." Ersya meraih makanan yang di berikan oleh Vina. Ke-tiganya makan bersama tanpa ada pembicaraan.
Setelah selesai. Sisil mengambil tas nya dan memberikan sebuah tiket. "Ini, temennya papah gua ngasih tiket buat nonton final Indonesia vs Thailand nanti."
Sisil melirik Ersya. "Berhubung lu pernah bilang kalo lu pengen banget nonton idola lu itu main bola. Jadi ya gua ambil tiketnya." sambung Sisil. Dia memberikan tiket itu kepada Ersya dan Vina.
Ersya memandangi tiket tersebut. Dalam hati dia sangat senang karna akhirnya dia bisa bertemu lagi dengan suaminya. Ya walaupun dirinya hanya bertemu dari jarak jauh saja.
"Tapi, bukannya masih lama ya?"
Sisil mengangguk. "Iya, justru itu karna final nya masih lama. Kita bisa mengumpulkan uang untuk sekalian berlibur. Lumayan juga kan kalo kita nanti dapet bule."
"Kapan kita berangkat?" tanya Ersya.
Vina melirik ke arah Ersya. "Hemm, yang mau nonton idolanya main bola, langsung semangat amat ya haha."
Ersya tersenyum. "Bukan idola, tapi dia suamiku. Aku merindukannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
SUAMIKU IDOLAKU
Romance"Kagumi saja dia sebagai idolamu. Jangan pernah berharap bahwa kamu dapat memilikinya." Kata itu yang selalu di ucapkan oleh Ersya setiap kali melihat idolanya. Namun, justru takdirnya berkata lain. Takdirnya berkata bahwa Ersya dapat memiliki idol...