24 | Blame It On Me

730 114 10
                                    

Sepanjang malam aku tidak bisa tidur, terus menatap kamar Build yang menyala sampai pagi. Si cantik tidak beranjak dari dalam kamarnya. Ketika pagi datang, Tante Kiena sempat masuk dan memastikan keadaan Build, setelah itu tidak datang sampai siang.

Aku bersalah. Aku tidak tahu harus melakukan apa agar di maafkan.

Tante Kiena pasti marah besar, dan puncak fatal-nya adalah aku di benci olehnya. Apa yang harus kulakukan? Tubuhku terus menggigil karena terlalu lama berdiri di balkon, dinginnya angin malam menusuk tulangku. Aku ketakutan.

"Mew,"

"Hm?" Mew mengembuskan kepulan asap ke udara. Kali ini bukan lintingan ganja, rokok yang dirampas dari dalam tasku. Mew menoleh santai, matanya tersorot khawatir setelah menaruh punggung tangan ke dahiku. "Kau baik-baik saja? Wajahmu pucat, tubuhmu sangat dingin."

"Please, help me."

"What!" Mew menaruh rokok pada asbak. Menatapku dengan serius. "Kau ada masalah?"

Aku tidak tahu harus bercerita mulai dari mana, apalagi bercerita soal cinta. Aku tidak pernah bertukar cerita selama berteman, aku tahu mereka atau sebaliknya, ya, mengalir begitu saja. Aku meneguk wine di tangan kiriku.

"Tadi malam, orang tua Build memarahinya karena aku membawa dia begitu aja." Aku Masih menyusun kalimat untuk memulai bercerita. "Aku tidak bisa tidur semalaman, aku tidak tahu harus melakukan apa, Mew. Bantu aku."

"Astaga, kenapa bisa?" Mew menepuk bahuku degan cukup kuat. "Aku mau membantu bagaimana? Itu urusanmu dengannya, Bible. Kau perlu menyelesaikannya sendiri."

Benar, 'kan? Mew tidak pernah membantu, terkadang aku menyesal telah menaruh harap padanya soal solusi.

Mew mendesis, menatapku menuang wine ke dalam gelas, dia memintanya juga. "Mobilnya sudah benar, mau ikut mengantar? Kau bisa kutinggal untuk berbicara dengan kedua orang tuanya. Kau perlu memberitahu soal hubunganmu dengan Build."

Aku menggeleng. "Tidak bisa,"

"Kenapa?"

"Aku takut—"

Mew terbahak kuat, getaran tubuhnya sampai mengguncang gelas berisi wine dalam genggamannya. "Sialan. Kau mencekik Maxime Mahasagara, seorang penjahat kelas kakap, bandit, bajingan, apalagi sebutannya? Ah iya—mafia besar di negara kita saja kau berani. Masa ini—"

"Not the same, jerk." Aku mulai kesal, jangan bandingkan bajingan itu dengan Om Ghazam!!

Mew menghentikan tawanya. "Okay, okay, sorry." Mew meneguk wine, "So, kau mau bagaimana?"

"Aku tidak tahu,"

Mew berdecak pelan. "Ikuti kataku. Entah respon apa yang akan mereka berikan. Kau harus tetap gentle menghadapinya, Bible."

_____

Aku meneguk saliva, tubuhku membeku menatap pria gagah yang sesekali menatapku santai. Pria itu tengah berbincang dengan Mew yang duduk di sebelahku. Aku menuruti ucapan Mew untuk menemaninya mengantar mobil milik Build yang sempat diperbaiki di bengkelnya. Tubuhku menegap ketika melihat Tante Kiena datang bersama Mbok In—masing-masing membawa nampan.

Pertama kali aku berdoa itu di makam Mama, Build yang memimpin. Kali ini kucoba untuk berdoa lagi, tetapi di dalam hati. Tuhan, tolong lancarkan niatku.

"Terima kasih, Nak Mew. Pakai di antar segala." Om Ghazam tersenyum, menepuk bahu Mew dengan pelan.

Mew tersenyum. "Santai saja, Om."

Hilang Naluri [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang